Perang
Batarayudha
KURAWA
PRABU DRUPADA
PRABU DRUPADA yang waktu mudanya bernama Arya Sucitra, adalah putra Arya Dupara dari
Hargajambangan, dan merupakan turunan ke tujuh dari Bathara Brahma. Arya
Sucitra bersaudara sepupu dengan Bambang Kumbayana/Resi Durna dan menjadi
saudara seperguruan sama-sama berguru pada Resi Baratmadya. Untuk mencari
pengalaman hidup, Arya Sucitra pergi meninggalkan Hargajembangan, mengabdikan
diri ke negara Astina kehadapan Prabu Pandudewanata. Arya Sucitra menekuni
seluk beluk tata kenegaraan dan tata pemerintahan. Karena kepatuhan dan
kebaktiannya kepada negara, oleh Prabu Pandu ia di jodohkan/dikawinkan dengan Dewi
Gandawati, putri sulung Prabu Gandabayu dengan Dewi Gandarini dari negara
Pancala. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh tiga orang putra
masing-masing bernama; Dewi Drupadi, Dewi Srikandi dan Arya Drestadyumna.
Ketika Prabu Gandabayu mangkat, dan berputra mahkota Arya Gandamana menolak
menjadi raja, Arya Sucitra dinobatkan menjadi raja Pancala dengan gelar Prabu
Drupada. Dalam masa kekuasaanya, Prabu Drupada berselisih dengan Resi Durna,
dan separo dari wilayah negara Pancala direbut secara paksa melalui peperangan
oleh Resi Durna dengan bantuan anak-anak Pandawa dan Kurawa. Di dalam perang
besar Bharatayuda, Prabu Drupada tampil sebagai senapati perang Pandawa.
Ia gugur melawan Resi Durna terkena panah Cundamanik.
RESI
DURNA
RESI DURNA yang waktu mudanya bernama Bambang Kumbayana adalah putra Resi Baratmadya
dari Hargajembangan dengan Dewi Kumbini. Resi Durna mempunyai saudara seayah
seibu bernama: Arya Kumbayaka dan Dewi Kumbayani. Resi Durna berwatak; tinggi
hati, sombong, congkak, bengis, banyak bicaranya, tetapi kecakapan, kecerdikan,
kepandaian dan kesaktiannnya luar biasa serta sangat mahir dalam siasat perang.
Karena kesaktian dan kemahirannya dalam olah keprajuritan, Resi Durna dipercaya
menjadi guru anak-anak Pandawa dan Kurawa. Resi Durna mempunyai pusaka sakti
berwujud keris bernama Cundamanik dan panah Sangkali (diberikan kepada Arjuna).
Resi Durna menikah dengan Dewi Krepi, putri Prabu Purungaji, raja negara
Tempuru, dan memperoleh seorang putra bernama Bambang Aswatama. Resi
Durna berhasil mendirikan padepokan Sokalima setelah berhasil merebut hampir
setengah wilayah negara Pancala dari kekuasaan Prabu Drupada. Dalam peran
Bharatayuda Resi Durna diangkat menjadi Senapati Agung Kurawa, setelah
gugurnya Resi Bisma. Resi Durna sangat mahir dalam siasat perang dan selalu
tepat menentukan gelar perang. Resi Durna gugur di medan pertempuran oleh
tebasan pedang Drestajumena, putra Prabu Drupada, yang memenggal putus
kepalanya. Konon kematian Resi Durna akibat dendam Prabu Ekalaya raja negara
Paranggelung yang arwahnya menyatu dalam tubuh Drestajumena.
Pelajaran Berharga ;
- “Sapa sing nggawe mesthi nganggo”, siapa menanam mengetam “ngundhuh
wohing pakarti”. Perbuatan jahat pada orang lain akan menjadi
bumerang, kembali membuat malapetaka pada diri sendiri. Tampaknya nukilan
dari falsafah hidup Kejawen ini merupakan rumus alam (baca; kodrat
alam/kodrat Tuhan). Bagaimanapun Durna sudah pernah merebut separoh
wilayah kekuasaan dan membunuh Prabu Drupada. Maka kematian Resi Durna
berada di tangan sang Drestajumena yakni putra Prabu Drupada
sendiri. Sebenarnya Drestajumena secara kalkulasi tidak akan
mungkin mengalahkan Resi Durna, karena kesaktiannya belum ada apa-apanya
jika dibanding Resi Durna. Namun Hyang Widhi telah memenuhi rumus “sapa
nggawe nganggo dan ngunduh wohing pakarti” apapun jalannya Resi
Durna mati di tangan Drestajumena setelah tubuhnya dirasuki roh Prabu
Ekalaya. Sudah menjadi kodrat alam, malapetaka (wohing pakarti)
datang menimpa diri sendiri, tidak mesti dari pihak korban atau orang yang
dijahati, namun bisa datang dari pihak lainnya lagi.
- Resi Durna sebagai figur yang memiliki watak dualisme, atau
berkepribadian ganda. Di satu sisi ia membuat huru-hara, di sisi lain
mendidik para kesatria Pandawa dari tlatah kebenaran. Namun ia
akhirnya mati “ngunduh wohing pakarti” alias karena ulahnya
sendiri.
- Ilmu ibarat pisau bermata dua, dapat dimanfaatkan untuk kebaikan
maupun kejahatan tergantung manusianya.
- Resi Durna dengan Prabu Drupada adalah saudara sepupu yang dahulu
bernaung dalam satu perguruan, namun Prabu Drupada memanfaatkan ilmunya
untuk kebaikan (amr ma’ruf nahi mungkar) sementara Resi Durna lebih banyak
memanfaatkannya untuk keburukan dan membela kekuatan jahat.
- Dalam peperangan fisik semisal Perang Bharata Yudha, dalam konteks
riil ambil contoh antara Yahudi dan Palestina, merupakan perang saudara
yang memperebutkan wilayah atau daerah kekuasaan sebagaimana dalam cerita
perang Baratayudha antara senopati perang Drupada melawan senopati perang
Durna.
- Sebagai peringatan kepada umat manusia untuk berhati-hati terhadap 3 macam nafsu negatif paling berbahaya yang dapat
menghancurkan hubungan tali persaudaraan baik dalam hubungan internal
keluarga, pertemanan atau pergaulan, berbangsa dan bernegara
yakni ; nafsu cari benarnya sendiri, nafsu keinginan
berkuasa, dan nafsu penguasaan harta (warisan).
Terutama terhadap orang-orang terdekat masih saudara sendiri. Jika terjadi
perang (saudara) akan menjadi perang yang sangat keji dan kejam. Terlebih
lagi perang tersebut diwarnai dalih membela kebenaran, antara kekuatan
“putih” dan “hitam. Akibatnya adalah kehancuran dahsyat. Semoga contoh di
atas dapat meningkatkan kesadaran kita semua, untuk tetap bersatu dalam
tali rasa yang satu, satu kebangsaan, satu bumi pertiwi, satu bahasa.
Sehingga bangsa ini terhindar dari kehancuran, sebaliknya meraih
kejayaannya kembali. Kita dapat mengambil contoh peristiwa holocaus,
etnis cleansing, pembantaian massal di Kamboja, peristiwa G 30 S,
Yahudi-Palestina.
PANDAWA
LIMA
1. PRABU
YUDHISTIRA
PRABU
YUDHISTIRA menurut cerita pedalangan Jawa adalah raja jin negara Mertani,
sebuah Kerajaan Siluman yang dalam penglihatan mata biasa merupakan hutan
belantara yang sangat angker. Prabu Yudhistira mempunyai dua saudara kandung
masing-masing bernama ;Arya Danduwacana, yang menguasai kesatrian Jodipati dan
Arya Dananjaya yang menguasai kesatrian Madukara. Prabu Yudhistira juga
mempunyai dua saudara kembar lain ibu, yaitu ; Ditya Sapujagad bertempat
tinggal di kesatrian Sawojajar, dan Ditya Sapulebu di kesatrian
Baweratalun.Prabu Yudhistira menikah dengan Dewi Rahina, putri Prabu Kumbala,
raja jin negara Madukara dengan permaisuri Dewi Sumirat. Dari perkawinan
tersebut ia memperoleh seorang putri bernama Dewi Ratri, yang kemudian menjadi
istri Arjuna.Ketika hutan Mertani berhasil ditaklukan keluarga Pandawa berkat
daya kesaktian minyak Jayengkaton milik Arjuna pemberian Bagawan
Wilwuk/Wilawuk, naga bersayap dari pertapaan Pringcendani. Prabu Yudhistira
kemudian menyerahkan seluruh negara beserta istrinya kepada Puntadewa, sulung
Pandawa, putra Prabu Pandu dengan Dewi Kunti. Prabu Yudhistira kemudian
menjelma atau menyatu dalam tubuh Puntadewa, hingga Puntadewa bergelar Prabu
Yudhistira. Prabu Yudhistira darahnya berwarna putih melambangkan kesuciannya.
2. BIMA atau
WERKUDARA
Dikenal pula
dengan nama; Balawa, Bratasena, Birawa, Dandunwacana, Nagata, Kusumayuda,
Kowara, Kusumadilaga, Pandusiwi, Bayusuta, Sena, atau Wijasena. Bima putra
kedua Prabu Pandu, raja Negara Astina dengan Dewi Kunti, putri Prabu Basukunti
dengan Dewi Dayita dari negara Mandura. Bima mempunyai dua orang saudara
kandung bernama: Puntadewa dan Arjuna, serta 2 orang saudara lain ibu, yaitu ;
Nakula dan Sadewa. Bima memililki sifat dan perwatakan; gagah berani, teguh,
kuat, tabah, patuh dan jujur. Bima memiliki keistimewaan ahli bermain ganda dan
memiliki berbagai senjata antara lain; Kuku Pancanaka, Gada Rujakpala,
Alugara, Bargawa (kapak besar) dan Bargawasta, sedangkan ajian yang
dimiliki adalah ; Aji Bandungbandawasa, Aji Ketuklindu dan Aji
Blabakpangantol-antol. Bima juga memiliki pakaian yang melambangkan
kebesaran yaitu; Gelung Pudaksategal, Pupuk Jarot Asem, Sumping Surengpati,
Kelatbahu Candrakirana, ikat pinggang Nagabanda dan Celana Cinde Udaraga.
Sedangkan beberapa anugerah Dewata yang diterimanya antara lain; Kampuh atau
kain Poleng Bintuluaji, Gelang Candrakirana, Kalung Nagasasra, Sumping
Surengpati dan pupuk Pudak Jarot Asem. Bima tinggal di kadipaten Jodipati,
wilayah negara Amarta. Bima mempunyai tiga orang isteri dan 3 orang anak, yaitu
:
1. Dewi
Nagagini, berputra Arya Anantareja,
2. Dewi Arimbi,
berputra Raden Gatotkaca dan
3. Dewi
Urangayu, berputra Arya Anantasena.
Akhir riwayat
Bima diceritakan, mati sempurna (moksa) bersama ke empat saudaranya setelah
akhir perang Bharatayuda.
3.
ARJUNA
Adalah putra
Prabu Pandudewanata, raja negara Astinapura dengan Dewi Kunti/Dewi Prita
putri Prabu Basukunti, raja negara Mandura. Arjuna merupakan anak ke-tiga dari
lima bersaudara satu ayah, yang dikenal dengan nama Pandawa. Dua saudara satu
ibu adalah Puntadewa dan Bima/Werkudara.
Sedangkan dua
saudara lain ibu, putra Pandu dengan Dewi Madrim adalah Nakula dan Sadewa.
Arjuna seorang satria yang gemar berkelana, bertapa dan berguru menuntut ilmu.
Selain menjadi murid Resi Drona di Padepokan Sukalima, ia juga menjadi murid
Resi Padmanaba dari Pertapaan Untarayana. Arjuna pernah menjadi Pandita di Goa
Mintaraga, bergelar Bagawan Ciptaning. Arjuna dijadikan jago kadewatan
membinasakan Prabu Niwatakawaca, raja raksasa dari negara Manimantaka. Atas
jasanya itu, Arjuna dinobatkan sebagai raja di Kahyangan Kaindran bergelar
Prabu Karitin dan mendapat anugrah pusaka-pusaka sakti dari para dewa, antara
lain ; Gendewa ( dari Bathara Indra ), Panah Ardadadali ( dari Bathara Kuwera
), Panah Cundamanik ( dari Bathara Narada ). Arjuna juga memiliki pusaka-pusaka
sakti lainnya, atara lain ; Keris Kiai Kalanadah, Panah Sangkali ( dari Resi
Durna ), Panah Candranila, Panah Sirsha, Keris Kiai Sarotama, Keris Kiai
Baruna, Keris Pulanggeni ( diberikan pada Abimanyu ), Terompet Dewanata, Cupu
berisi minyak Jayengkaton ( pemberian Bagawan Wilawuk dari pertapaan
Pringcendani ) dan Kuda Ciptawilaha dengan Cambuk Kiai Pamuk. Sedangkan ajian
yang dimiliki Arjuna antara lain: Panglimunan, Tunggengmaya, Sepiangin,
Mayabumi, Pengasih dan Asmaragama. Arjuna mempunyai 15 orang istri dan 14
orang anak. Adapun istri dan anak-anaknya adalah :
1. Dewi Sumbadra , berputra Raden Abimanyu.
2. Dewi Larasati , berputra Raden Sumitra dan
Bratalaras.
3. Dewi Srikandi
4. Dewi Ulupi/Palupi , berputra Bambang Irawan
5. Dewi Jimambang , berputra Kumaladewa dan
Kumalasakti
6. Dewi Ratri , berputra Bambang Wijanarka
7. Dewi Dresanala , berputra Raden Wisanggeni
8. Dewi Wilutama , berputra Bambang Wilugangga
9. Dewi Manuhara , berputra Endang Pregiwa dan
Endang Pregiwati
10. Dewi Supraba , berputra Raden Prabakusuma
11. Dewi Antakawulan , berputra Bambang Antakadewa
12. Dewi Maeswara
13. Dewi Retno Kasimpar
14. Dewi Juwitaningrat , berputra Bambang Sumbada
15. Dewi Dyah Sarimaya.
Arjuna juga
memiliki pakaian yang melambangkan kebesaran, yaitu ; Kampuh/Kain Limarsawo,
Ikat Pinggang Limarkatanggi, Gelung Minangkara, Kalung Candrakanta dan Cincin
Mustika Ampal (dahulunya milik Prabu Ekalaya, raja negara Paranggelung).
Arjuna juga
banyak memiliki nama dan nama julukan, antara lain ; Parta (pahlawan perang),
Janaka (memiliki banyak istri), Pemadi (tampan), Dananjaya, Kumbaljali,
Ciptaning Mintaraga (pendeta suci), Pandusiwi, Indratanaya (putra Bathara
Indra), Jahnawi (gesit trengginas), Palguna, Danasmara ( perayu ulung ) dan
Margana ( suka menolong ).
Arjuna memiliki
sifat perwatakan ; Cerdik pandai, pendiam, teliti, sopan-santun, berani dan
suka melindungi yang lemah.
Arjunaa
memimpin Kadipaten Madukara, dalam wilayah negara Amarta. Setelah perang
Bhatarayuda, Arjuna menjadi raja di Negara Banakeling, bekas kerajaan
Jayadrata.
Akhir riwayat
Arjuna diceritakan, ia muksa ( mati sempurna ) bersama ke-empat saudaranya yang
lain.
4.
NAKULA
Nang dalam
pedalangan Jawa disebut pula dengan nama Pinten (nama tumbuh-tumbuhan yang
daunnya dapat dipergunakan sebagai obat) adalah putra ke-empat Prabu
Pandudewanata, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Madrim, putri Prabu
Mandrapati dengan Dewi Tejawati, dari negara Mandaraka. Nakula lahir kembar
bersama adiknya, Sahadewa atau Sadewa (pedalangan Jawa), Nakula juga menpunyai
tiga saudara satu ayah, putra Prabu Pandu dengan Dewi Kunti, dari negara
Mandura bernama; Puntadewa, Bima/Werkundara dan Arjuna. Nakula adalah titisan
Bathara Aswi, Dewa Tabib. Nakula mahir menunggang kuda dan pandai
mempergunakan senjata panah dan lembing. Nakula tidak akan dapat lupa tentang
segala hal yang diketahui karena ia mepunyai Aji Pranawajati
pemberian Ditya Sapujagad, Senapati negara Mretani. Nakula juga mempunyai cupu
berisi, “Banyu Panguripan atau Air kehidupan” (tirtamaya)
pemberian Bhatara Indra. Nakula mempunyai watak jujur, setia, taat, belas
kasih, tahu membalas guna dan dapat menyimpan rahasia. Nakula tinggal di kesatrian
Sawojajar, wilayah negara Amarta. Nakula mempunyai dua orang isteri yaitu:
1. Dewi
Sayati putri Prabu Kridakirata, raja negara Awuawulangit, dan
memperoleh dua orang putra masing-masing bernama; Bambang
Pramusinta dan Dewi Pramuwati.
2. Dewi
Srengganawati, putri Resi Badawanganala, kura-kura raksasa
yang tinggal di sungai/narmada Wailu (menurut Purwacarita,
Badawanangala dikenal sebagai raja negara Gisiksamodra/Ekapratala)
dan memperoleh seorang putri bernama Dewi Sritanjung.
Dari perkawinan
itu Nakula mendapat anugrah cupu pusaka berisi air kehidupan bernama Tirtamanik.
Setelah selesai perang Bharatyuda, Nakula diangkat menjadi raja negara
Mandaraka sesuai amanat Prabu Salya kakak ibunya, Dewi Madrim. Akhir riwayatnya
diceritakan, Nakula mati moksa bersama keempat saudaranya.
5.
SADEWA atau Sahadewa
Dalam
pedalangan Jawa disebut pula dengan nama Tangsen (buah dari tumbuh-tumbuhan
yang daunnya dapat dipergunakan dan dipakai untuk obat) adalah putra ke-lima
atau bungsu Prabu Pandudewanata, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi
Madrim, putri Prabu Mandrapati dengan Dewi Tejawati dari negara Mandaraka.
Ia lahir kembar bersama kakanya, Nakula. Sadewa juga mempunyai tiga orang
saudara satu ayah, putra Prabu Pandu dengan Dewi Kunti, dari negara Mandura,
bernama; Puntadewa, Bima/Werkundara dan Arjuna. Sadewa adalah titisan Bathara
Aswin, Dewa Tabib. Sadewa sangat mahir dalam ilmu kasidan (Jawa)/seorang
mistikus. Mahir menunggang kuda dan mahir menggunakan senjata panah dan
lembing. Selain sangat sakti, Sadewa juga memiliki Aji Purnamajati
pemberian Ditya Sapulebu, Senapati negara Mretani yang berkhasiat; dapat
mengerti dan mengingat dengan jelas pada semua peristiwa. Sadewa mempunyai watak
jujur, setia, taat, belas kasih, tahu membalas guna dan dapat menyimpan rahasia.
Sadewa tinggal di kesatrian Bawenatalun/Bumiretawu, wilayah negara
Amarta. Sadewa menikah dengan Dewi Srengginiwati, adik Dewi Srengganawati
(Isteri Nakula), putri Resi Badawanganala, kura-kura raksasa yang tinggal di
sungai/narmada Wailu (menurut Purwacarita, Badawanangala dikenal sebagai raja
negara Gisiksamodra/Ekapratala). Dari perkawinan tersebut ia memperoleh seorang
putra bernama Bambang Widapaksa/ Sidapaksa). Setelah selesai perang
Bharatayuda, Sedewa menjadi patih negara Astina mendampingi Prabu
Kalimataya/Prabu Yudhistrira. Akhir riwayatnya di ceritakan, Sahadewa mati moksa
bersama ke empat saudaranya.
KEPEMIMPINAN PUNAKAWAN : Semar-Gareng-Petruk-Bagong
CONTOH
LEADERSHIP PUNAKAWAN
ABDI
KINASIH KESATRIA PENDHAWA LIMA
KI
LURAH SEMAR BADRANAYA, NALA GARENG,
PETRUK
KANTHONG BOLONG DAN KI LURAH BAGONG
“Tanggap ing sasmita
dan Limpat Pasang ing Grahita, dan Cakra-Manggilingan”
“Pinangka
mrih hamemayu hayuning bawana”
“Puna”
atau “pana” dalam terminologi Jawa artinya memahami, terang, jelas,
cermat, mengerti, cerdik dalam mencermati atau mengamati makna hakekat di balik
kejadian-peristiwa alam dan kejadian dalam kehidupan manusia. Sedangkan kawan
berarti pula pamong atau teman. Jadi punakawan mempunyai makna
yang menggambarkan seseorang yang menjadi teman, yang mempunyai kemampuan
mencermati, menganalisa, dan mencerna segala fenomena dan kejadian alam serta
peristiwa dalam kehidupan manusia. Punakawan dapat pula diartikan
seorang pengasuh, pembimbing yang memiliki kecerdasan fikir, ketajaman batin,
kecerdikan akal-budi, wawasannya luas, sikapnya bijaksana, dan arif dalam
segala ilmu pengetahuan. Ucapannya dapat dipercaya, antara perkataan dan
tindakannya sama, tidaklah bertentangan. Khasanah budaya Jawa menyebutnya
sebagai “tanggap ing sasmita, lan limpat pasang ing grahita”. Dalam
istilah pewayangan terdapat makna sinonim dengan apa yang disebut wulucumbu
yakni rambut yang tumbuh pada jempol kaki. Keseluruhan gambaran karakter
pribadi Ki Lurah Semar tersebut berguna dalam upaya melestarikan alam semesta,
dan menciptakan kemakmuran serta kesejahteraan di bumi pertiwi.
Dalam cerita
pewayangan Jawa, punakawan tersebut dibagi menjadi dua kelompok yang
masing-masing memiliki peranan yang sama sebagai penasehat spiritual dan
politik, namun masing-masing mengasuh tokoh yang karakternya saling
kontradiksi.
Kelompok Ki Lurah Semar Badranaya
Kelompok ini
terdiri Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong (Sunda: Cepot). Mereka
menggambarkan kelompok punakawan yang jujur, sederhana, tulus, berbuat
sesuatu tanpa pamrih, tetapi memiliki pengetahuan yang sangat luas, cerdik, dan
mata batinnya sangat tajam. Ki Lurah Semar, khususnya, memiliki hati yang
“nyegoro” atau seluas samudra serta kewaskitaan dan kapramanan-nya
sedalam samudra. Hanya satria sejati yang akan menjadi asuhan Ki Lurah Semar.
Semar hakekatnya sebagai manusia setengah dewa, yang bertugas mengemban/momong
para kesatria sejati.
Ki Lurah Semar
disebut pula Begawan Ismaya atau Hyang Ismaya, karena
eksistensinya yang teramat misterius sebagai putra Sang Hyang Tunggal umpama dewa
mangejawantah. Sedangkan julukan Ismaya artinya tidak wujud secara
wadag/fisik, tetapi yang ada dalam keadaan samar/semar. Dalam uthak-athik-gathuk
secara Jawa, Ki Semar dapat diartikan guru sejati (sukma sejati), yang
ada dalam jati diri kita. Guru sejati merupakan hakekat Zat tertinggi
yang terdapat dalam badan kita. Maka bukanlah hal yang muskil bila hakekat guru
sejati yang disimbolkan dalam wujud Ki Lurah Semar, memiliki kemampuan sabda
pendita ratu, ludahnya adalah ludah api (idu geni). Apa yang diucap guru
sejati menjadi sangat bertuah, karena ucapannya adalah kehendak Tuhan. Para
kesatria yang diasuh oleh Ki Lurah Semar sangat beruntung karena negaranya akan
menjadi adil makmur, gamah ripah, murah sandang pangan, tenteram, selalu
terhindar dari musibah.
Tugas punakawan
dimulai sejak kepemimpinan Prabu Herjuna Sasrabahu di negeri Maespati, Prabu
Ramawijaya di negeri Pancawati, Raden Sakutrem satria Plasajenar, Raden Arjuna
Wiwaha satria dari Madukara, Raden Abimanyu satria dari Plangkawati, dan Prabu
Parikesit di negeri Ngastina. Ki Lurah Semar selalu dituakan dan dipanggil
sebagai kakang, karena dituakan dalam arti kiasan yakni ilmu
spiritualnya sangat tinggi, sakti mandraguna, berpengalaman luas dalam
menghadapi pahit getirnya kehidupan. Bahkan para Dewa pun memanggilnya dengan
sebutan “kakang”.
Kelompok punakawan ini bertugas :
- Menemani (mengabdi) para bendhara (bos) nya yang memiliki
karakter luhur budi pekertinya. Tugas punakawan adalah sebagai
“pembantu” atau abdi sekaligus “pembimbing”. Tugasnya berlangsung dari
masa ke masa.
- Dalam cerita pewayangan, kelompok ini lebih sebagai penasehat
spiritual, pamomong, kadang berperan pula sebagai teman bercengkerama,
penghibur di kala susah.
- Dalam percengkeramaannya yang bergaya guyon parikena atau
saran, usulan dan kritikan melalui cara-cara yang halus, dikemas dalam
bentuk kejenakaan kata dan kalimat. Namun di dalamnya selalu terkandung
makna yang tersirat berbagai saran dan usulan, dan sebagai pepeling
akan sikap selalu eling dan waspadha yang harus dijalankan
secara teguh oleh bendharanya yang jumeneng sebagai kesatria
besar.
- Pada kesempatan tertentu punakawan dapat berperan sebagai
penghibur selagi sang bendhara mengalami kesedihan.
- Pada intinya, Ki Lurah Semar dkk bertugas untuk mengajak para kesatria
asuhannya untuk selalu melakukan kebaikan atau kareping rahsa
(nafsu al mutmainah). Dalam terminologi Islam barangkali sepadan dengan
istilah amr ma’ruf.
Adapun watak
kesatria adalah: halus, luhur budi pekerti, sabar, tulus, gemar menolong, siaga
dan waspada, serta bijaksana.
Kelompok Ki Lurah Togog
Kelompok ini
terdiri tiga personil yakni: Ki Lurah Togog (Sarawita) dan Mbilung. Punakawan
ini bertugas menemani bendhara-nya yang berkarakter dur angkara
yakni para Ratu Sabrang. Sebut saja misalnya Prabu Baladewa di negeri Mandura,
Prabu Basukarna di negeri Ngawangga, Prabu Dasamuka (Rahwana) di negeri
Ngalengka, Prabu Niwatakawaca di negeri Iman-Imantaka dan beberapa kesatria
dari negara Sabrangan yang berujud (berkarakter) raksasa; pemarah, bodoh, namun
setia dalam prinsip. Lurah Togog disebut pula Lurah Tejamantri. Ki Togog dkk
secara garis besar bertugas mencegah asuhannya yang dur angkara, untuk
selalu eling dan waspadha, meninggalkan segala sifat buruk, dan
semua nafsu negatif. Beberapa tugas mereka antara lain:
1. Mereka bersuara lantang untuk selalu memberikan
koreksi, kritikan dan saran secara kontinyu kepada bendhara-nya.
2. Memberikan pepeling kepada bendhara-nya agar
selalu eling dan waspadha jangan menuruti kehendak nafsu jasadnya
(rahsaning karep).
Gambaran tersebut sesungguhnya memproyeksikan pula
karakter dalam diri manusia (jagad alit). Sebagaimana digambarkan bahwa
kedua kesatria di atas memiliki karakter yang berbeda dan saling kontradiktori.
Maknanya, dalam jagad kecil (jati diri manusia) terdapat dua sifat yang
melekat, yakni di satu sisi sifat-sifat kebaikan yang memancar dari dalam cahyo
sejati (nurulah) merasuk ke dalam sukma sejati (ruhulah). Dan di sisi lain
terdapat sifat-sifat buruk yang berada di dalam jasad atau ragawi. Kesatria
yang berkarakter baik diwakili oleh kelompok Pendawa Lima beserta para
leluhurnya. Sedangkan kesatria yang berkarakter buruk diwakili oleh kelompok
Kurawa 100. walaupun keduanya masing-masing sudah memiliki penasehat punakawan,
namun tetap saja terjadi peperangan di antara dua kelompok kesatria tersebut.
Hal itu menggambarkan betapa berat pergolakan yang terjadi dalam jagad alit
manusia, antara nafsu negatif dengan nafsu positif. Sehingga dalam cerita
pewayangan digambarkan dengan perang Brontoyudho antara kesatria momongan
Ki Lurah Semar dengan kesatria momongan Ki Togog. Antara Pendawa melawan
Kurawa 100. Antara nafsu positif melawan nafsu negatif. Medan perang dilakukan
di tengah Padhang Kurusetra, yang tidak lain menggambarkan hati manusia.
1. Ki Lurah Semar (simbol ketentraman
dan keselamatan hidup)
Membahas Semar tentunya akan panjang lebar seperti tak
ada titik akhirnya. Semar sebagai simbol bapa manusia Jawa. Bahkan dalam kitab
jangka Jayabaya, Semar digunakan untuk menunjuk penasehat Raja-raja di tanah Jawa
yang telah hidup lebih dari 2500 tahun. Dalam hal ini Ki Lurah Semar tiada lain
adalah Ki Sabdapalon dan Ki Nayagenggong, dua saudara kembar penasehat
spiritual Raja-raja. Sosoknya sangat misterius, seolah antara nyata dan tidak
nyata, tapi jika melihat tanda-tandanya orang yang menyangkal akan menjadi
ragu. Ki Lurah Semar dalam konteks Sabdapalon dan Nayagenggong merupakan bapa
atau Dahyang-nya manusia Jawa. Menurut jangka Jayabaya kelak saudara kembar
tersebut akan hadir kembali setelah 500 tahun sejak jatuhnya Majapahit untuk
memberi pelajaran kepada momongannya manusia Jawa (nusantara). Jika dihitung
kedatangannya kembali, yakni berkisar antara tahun 2005 hingga 2011. Maka bagi
para satria momongannya Ki Lurah Semar ibarat menjadi jimat; mung
siji tur dirumat. Selain menjadi penasehat, punakawan akan
menjadi penolong dan juru selamat/pelindung tatkala para satria momongannya
dalam keadaan bahaya.
Dalam cerita pewayangan Ki Lurah Semar jumeneng
sebagai seorang Begawan, namun ia sekaligus sebagai simbol rakyat jelata. Maka
Ki Lurah Semar juga dijuluki manusia setengah dewa. Dalam perspektif
spiritual, Ki Lurah Semar mewakili watak yang sederhana, tenang, rendah
hati, tulus, tidak munafik, tidak pernah terlalu sedih dan tidak pernah tertawa
terlalu riang. Keadaan mentalnya sangat matang, tidak kagetan dan tidak gumunan.
Ki Lurah Semar bagaikan air tenang yang menghanyutkan, di balik ketenangan
sikapnya tersimpan kejeniusan, ketajaman batin, kaya pengalaman
hidup dan ilmu pengetahuan. Ki Lurah Semar menggambarkan figur yang sabar,
tulus, pengasih, pemelihara kebaikan, penjaga kebenaran dan menghindari
perbuatan dur-angkara. Ki Lurah Semar juga dijuluki Badranaya,
artinya badra adalah rembulan, naya wajah. Atau Nayantaka, naya adalah wajah, taka : pucat.
Keduanya berarti menyimbolkan bahwa Semar memiliki watak rembulan (lihat
thread: Pusaka Hasta Brata). Dan seorang figur yang memiliki wajah
pucat, artinya Semar tidak mengumbar hawa nafsu. Semareka den prayitna: semare
artinya menidurkan diri, agar supaya batinnya selalu awas. Maka yang ditidurkan
adalah panca inderanya dari gejolak api atau nafsu negatif. Inilah nilai di
balik kalimat wani mati sajroning urip (berani mati di dalam hidup).
Perbuatannya selalu netepi kodrat Hyang Widhi (pasrah), dengan cara
mematikan hawa nafsu negatif. Sikap demikian akan diartikulasikan ke dalam
sikap watak wantun kita sehari-hari dalam pergaulan, “pucat’ dingin
tidak mudah emosi, tenang dan berwibawa, tidak gusar dan gentar jika
dicaci-maki, tidak lupa diri jika dipuji, sebagaimana watak Badranaya
atau wajah rembulan.
Dalam khasanah spiritual Jawa, khususnya mengenai konsep
manunggaling kawula Gusti, Ki Lurah Semar dapat menjadi personifikasi
hakekat guru sejati setiap manusia. Semar adalah samar-samar, sebagai
perlambang guru sejati atau sukma sejati wujudnya samar bukan
wujud nyata atau wadag, dan tak kasad mata. Sedangkan Pendawa Lima adalah
personifikasi jasad/badan yang di dalamnya terdapat panca indera. Karena sifat
jasad/badan cenderung lengah dan lemah, maka sebaik apapun jasad seorang
satria, tetap saja harus diasuh dan diawasi oleh sang guru sejati agar
senantiasa eling dan waspadha. Agar supaya jasad/badan memiliki
keteguhan pada ajaran kebaikan sang guru sejati. Guru sejati merupakan
pengendali seseorang agar tetap dalam “laku” yang tepat, pener dan
berada pada koridor bebener. Siapa yang ditinggalkan oleh pamomong
Ki Lurah Semar beserta Gareng, Petruk, Bagong, ia akan celaka, jika satria maka
di negerinya akan mendapatkan banyak malapetaka seperti : musibah, bencana,
wabah penyakit (pageblug), paceklik. Semua itu sebagai bebendu karena
manusia (satria) yang ditinggalkan guru sejati-nya telah keluar dari
jalur bebener.
Jika ditinjau dari perspektif politik, kelompok
Punakawan Ki Lurah Semar dan anak-anaknya Gareng, Petruk, Bagong sebagai
lambang dari lembaga aspirasi rakyat yang mengemban amanat penderitaan rakyat.
Atau semacam lembaga legislatif. Sehingga kelompok punakawan ini bertugas
sebagai penyambung lidah rakyat, melakukan kritikan, nasehat, dan usulan.
Berkewajiban sebagai pengontrol, pengawas, pembimbing jalannya pemerintahan di
bawah para Satria asuhannya yakni Pendhawa Lima sebagai lambang badan eksekutif
atau lembaga pemerintah. Dengan gambaran ini, sebenarnya dalam tradisi Jawa
sejak masa lampau telah dikenal sistem politik yang demokratis.
2. Nala Gareng
Nala adalah hati,
Gareng (garing) berarti kering, atau gering, yang berarti
menderita. Nala Gareng berarti hati yang menderita. Maknanya adalah perlambang
“laku” prihatin. Namun Nala Gareng diterjemahkan pula sebagai kebulatan tekad.
Dalam serat Wedhatama disebutkan gumeleng agolong-gilig. Merupakan suatu
tekad bulat yang selalu mengarahkan setiap perbuatannya bukan untuk pamrih
apapun, melainkan hanya untuk netepi kodrat Hyang Manon. Nala Gareng
menjadi simbol duka-cita, kesedihan, nelangsa. Sebagaimana yang tampak dalam
wujud fisik Nala Gareng merupakan sekumpulan simbol yang menyiratkan makna sbb:
Mata Juling:
Mata sebelah kiri mengarah keatas dan ke samping.
Maknanya Nala Gareng selalu memusatkan batinnya kepada Hyang Widhi.
Lengan Bengkok atau cekot/ceko :
Melambangkan bahwasannya manusia tak akan bisa berbuat
apa-apa bila tidak berada pada kodrat atau kehendak Hayng Widhi.
Kaki Pincang, jika berjalan sambil jinjit :
Artinya Nala Gareng merupakan manusia yang sangat
berhati-hati dalam melangkah atau dalam mengambil keputusan. Keadaan fisik nala
Gareng yang tidak sempurna ini mengingatkan bahwa manusia harus bersikap awas
dan hati-hati dalam menjalani kehidupan ini karena sadar akan sifat dasar
manusia yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan.
Mulut Gareng :
Mulut gareng berbentuk aneh dan lucu, melambangkan ia
tidak pandai bicara, kadang bicaranya sasar-susur (belepotan) tak
karuan. Bicara dan sikapnya serba salah, karena tidak merasa percaya diri.
Namun demikian Nala Gareng banyak memiliki teman, baik di pihak kawan maupun
lawan. Inilah kelebihan Nala Gareng, yang menjadi sangat bermanfaat dalam
urusan negosiasi dan mencari relasi, sehingga Nala Gareng sering berperan
sebagai juru damai, dan sebagai pembuka jalan untuk negosiasi. Justru dengan
banyaknya kekurangan pada dirinya tersebut, Nala Gareng sering terhindar dari
celaka dan marabahaya.
3. Petruk Kanthong Bolong
Ki Lurah Petruk adalah putra dari Gandarwa Raja yang
diambil anak oleh Ki Lurah Semar. Petruk memiliki nama alias, yakni Dawala.
Dawa artinya panjang, la, artinya ala atau jelek. Sudah panjang,
tampilan fisiknya jelek. Hidung, telinga, mulut, kaki, dan tangannya panjang.
Namun jangan gegabah menilai, karena Lurah Petruk adalah jalma tan kena
kinira, biar jelek secara fisik tetapi ia sosok yang tidak bisa
diduga-kira. Gambaran ini merupakan pralambang akan tabiat Ki Lurah Petruk yang
panjang pikirannya, artinya Petruk tidak grusah-grusuh (gegabah) dalam
bertindak, ia akan menghitung secara cermat untung rugi, atau resiko akan suatu
rencana dan perbuatan yang akan dilakukan. Petruk Kanthong Bolong,
menggambarkan bahwa Petruk memiliki kesabaran yang sangat luas, hatinya bak
samodra, hatinya longgar, plong dan perasaannya bolong tidak ada
yang disembunyikan, tidak suka menggerutu dan ngedumel.
Dawala, juga
menggambarkan adanya pertalian batin antara para leluhurnya di kahyangan
(alam kelanggengan) dengan anak turunnya, yakni Lurah Petruk yang masih hidup
di mercapada. Lurah Petruk selalu mendapatkan bimbingan dan tuntunan
dari para leluhurnya, sehingga Lurah Petruk memiliki kewaskitaan mumpuni dan
mampu menjadi abdi dalem (pembantu) sekaligus penasehat para kesatria.
Petruk Kanthong Bolong wajahnya selalu tersenyum,
bahkan pada saat sedang berduka pun selalu menampakkan wajah yang ramah dan
murah senyum dengan penuh ketulusan. Petruk mampu menyembunyikan kesedihannya
sendiri di hadapan para kesatria bendharanya. Sehingga kehadiran petruk
benar-benar membangkitkan semangat dan kebahagiaan tersendiri di tengah
kesedihan. Prinsip “laku” hidup Ki Lurah Petruk adalah kebenaran, kejujuran dan
kepolosan dalam menjalani kehidupan. Bersama semua anggota Punakawan, Lurah
Petruk membantu para kesatria Pandhawa Lima (terutama
Raden Arjuna) dalam perjuangannya menegakkan kebenaran dan keadilan.
4. Bagong
Bagong adalah anak ketiga Ki Lurah Semar. Secara
filosofi Bagong adalah bayangan Semar. Sewaktu Semar mendapatkan tugas mulia
dari Hyang Manon, untuk mengasuh para kesatria yang baik, Semar memohon
didampingi seorang teman. Permohonan Semar dikabulkan Hyang Maha Tunggal, dan
ternyata seorang teman tersebut diambil dari bayangan Semar sendiri. Setelah
bayangan Semar menjadi manusia berkulit hitam seperti rupa bayangan Semar, maka
diberi nama Bagong. Sebagaimana Semar, bayangan Semar tersebut sebagai manusia berwatak
lugu dan teramat sederhana, namun memiliki ketabahan hati yang luar biasa. Ia
tahan menanggung malu, dirundung sedih, dan tidak mudah kaget serta heran jika
menghadapi situasi yang genting maupun menyenangkan. Penampilan dan lagak Lurah
Bagong seperti orang dungu. Meskipun demikian Bagong adalah sosok yang tangguh,
selalu beruntung dan disayang tuan-tuannya. Maka Bagong termasuk punakawan yang
dihormati, dipercaya dan mendapat tempat di hati para kesatria. Istilahnya
bagong diposisikan sebagai bala tengen, atau pasukan kanan, yakni berada
dalam jalur kebenaran dan selalu disayang majikan dan Tuhan.
Dalam pagelaran wayang kulit, kelompok punakawan
Semar, Gareng, Petruk, Bagong selalu mendapatkan tempat di hati para pemirsa.
Punakawan tampil pada puncak acara yang ditunggu-tunggu pemirsa yakni goro-goro,
yang menampilkan berbagai adegan dagelan, anekdot, satire, penuh tawa yang
berguna sebagai sarana kritik membangun sambil bercengkerama (guyon parikena).
Punakawan menyampaikan kritik, saran, nasehat, maupun menghibur para kesatria
yang menjadi asuhan sekaligus majikannya. Suara punakawan adalah suara rakyat
jelata sebagai amanat penderitaan rakyat, sekaligus sebagai “suara” Tuhan
menyampaikan kebenaran, pandangan dan prinsip hidup yang polos, lugu namun
terkadang menampilkan falsafah yang tampak sepele namun memiliki esensi yang
sangat luhur. Itulah sepak “terjang punakawan” bala tengen yang suara
hatinuraninya selalu didengar dan dipatuhi oleh para kesatria asuhan sekaligus
majikannya.
Kepemimpinan Punakawan Kontroversial
Dalam cerita wayang sebagaimana kisah-kisah dalam
legenda lainnya, terdapat kelompok antagonis. Dalam cerita wayang tokoh-tokoh
antagonis berasal dari negri seberang atau Sabrangan. Punakawan Togog atau
Tejamantri, Sarawita dan Mbilung merupakan punakawan kontroversif yang selalu
membimbing tokoh pembesar antagonis, para “ksatria” angkara murka (dur
angkara), hingga para pimpinan raksasa jahat. Sebut saja misalnya Prabu
Dasamuka, Prabu Niwatakawaca, Prabu Susarma, hingga para kesatria dur
angkara dari Mandura seperti Raden Kangsa dan seterusnya. Pada intinya Ki
Lurah Togog dkk selalu berada di pihak tokoh antagonis, sehingga disebut
sebagai bala kiwa. Namun demikian bukan berarti kelompok punakawan ini
memiliki karakter buruk.
Ciri fisik Togog dkk memiliki mulut yang lebar.
Artinya mereka selalu berkoar menyuarakan kebaikan, peringatan (pepeling)
kepada majikannya agar tetap waspada dan eling, menjadi manusia
jangan berlebihan. Ngono ya ngono ning aja ngono. Manusia harus mengerti
batas-batas perikemanusiaan. Sekalipun akan mengalahkan lawan atau musuhnya
tetap harus berpegang pada etika seorang kesatria yang harus gentle,
tidak pengecut, dan tidak memenangkan perkelahian dengan jalan yang licik.
Sekalipun menang tidak boleh menghina dan mempermalukan lawannya (menang
tanpa ngasorake). Itulah ajaran Ki Lurah Togog dkk yang sering kali diminta
nasehat dan saran oleh para majikannya. Namun toh akhirnya setiap nasehat,
saran, masukan, aspirasi yang disampaikan Ki Lurah Togog dkk tetap saja tidak
pernah digubris oleh majikannya mereka tetap setia. Ki Lurah Togog dkk
walaupun menjabat posisi sentral sebagai penasehat, pengasuh dan pembimbing,
yang selalu bermulut lantang menyuarakan pepeling, seolah peran mereka
hanya sebagai obyek pelengkap penderita. Walaupun Ki Lurah Togog dkk selalu
gagal mengasuh majikannya para kesatria dur angkara, hingga sering
berpindah majikan untuk bersuara lantang mencegah kejahatan. Bukan berarti
mereka tidak setia. Sebaliknya dalam hal kesetiaan sebagai kelompok penegak kebenaran, Ki Lurah togog patut menjadi
teladan baik. Karena sekalipun sering dimaki, dibentak dan terkena amarah
majikannya, Ki Lurah Togog dkk tidak mau berkhianat. Sekalipun selalu gagal
memberi kritik dan saran kepada majikannya, mereka tetap teguh dalam perjuangan
menegakkan keadilan. Dan lagi-lagi, mereka selalu dimintai saran dan kritikan,
namun serta-merta diingkari pula oleh majikan-majikan barunya. Itulah nasib
Togog dkk, yang mengisyaratkan nasib rakyat kecil yang selalu mengutarakan
aspirasi dan amanat penderitaan rakyat namun tidak memiliki bargaining power.
Ibarat menyirami gurun, seberapapun nasehat dan kritikan telah disiramkan di
hati para “pemimpin” dur angkara, tak akan pernah membekas dalam watak
para majikannya. Barangkali nasib kelompok punakawan Ki Lurah Togog dkk mirip
dengan apa yang kini dialami oleh rakyat Indonesia. Suara hati nurani rakyat
sulit mendapat tempat di hati para tokoh dan pejabat hing nusantara
nagri. Sekalipun sekian banyak pelajaran berharga di depan mata, namun
manifestasi perbuatan dan kebijakan politiknya tetap saja kurang populer untuk
memihak rakyat kecil.
WAYANG
KARYA
ASLI LELUHUR BANGSA
Sebagai
Falsafah “Gumêlaring-Bawáná”
Wayang yang dikenal oleh masyarakat Jawa, memiliki
beberapa jenis antara lain Wayang Kulit atau Wayang Purwa terbuat dari kulit
kerbau, Wayang Klithik bentuknya pipih terbuat dari kayu, Wayang Golek
terbuat dari bahan dasar kayu, kain dll, dan Wayang Orang bahan bakunya paling
aneh, namun sungguh kenyataan, benar-benar terbuat dari manusia
hidup-hidup L hii..!!
Dalam bahasa Jawa, kata wayang berarti “bayangan”.
Ditinjau dari perspektif filosofi wayang dapat diartikan sebagai bayangan atau
cerminan seluruh sifat-sifat yang ada dalam diri manusia, seperti sifat dur
angkara murka, dan segala macam sifat kebaikan (positif). Wayang digunakan
sebagai instrumen untuk memperagakan suatu cerita kehidupan manusia di jagad
raya, serta gambaran khayangan, atau alam gaib. Dimainkan oleh seorang
dalang yang dibantu oleh tim yang terdiri penyumping atau asisten
dalang, niyaga atau orang-orang penabuh gamelan dan beberapa waranggana
sebagai pelantun tembang. Dalang menjalankan fungsi sentral sebagai sutradara
sekaligus pelaku utama jalannya pagelaran secara keseluruhan. Dalanglah yang
memimpin semua kru-nya untuk “melebur” dalam alur lakon yang disajikan.
Dalam adegan yang kecil-kecilpun dan spontanitas harus ada kekompakan di antara
semua kru. Seorang dalang harus menguasai berbagai macam gending atau
aransemen alat musik gamelan, dan syarat mutlak bagi seorang dalang menghayati
masing-masing karakter dari semua tokoh dalam pewayangan. Desain lantai yang
digunakan dalam pagelaran wayang berupa garis lurus, dan dalam memainkan
wayang, dalang menghadap ke arah kelir (batang pohon pisang) yang digunakan
untuk menancapkan wayang secara berjajar. Jajaran wayang di bagi dua secara
berhadapan, ada di sebelah kanan dan sebelah kiri dalangnya. Jajaran wayang di
sebelah kiri dalang merupakan kumpulan tokoh tokoh atau satria-satria pembela
kebenaran dan kebajikan, sedangkan jajaran wayang sebelah kanan adalah
tokoh-tokoh angkara murka. Mengapa para kesatria pembela kebenaran letaknya di
sebelah kiri dalang, hal itu tidak lain karena cara menonton wayang yang benar
adalah dari balik (belakang) layar. Yang ditonton bayangannya, akan lebih
terasa sangat eksotis. Walaupun demikian ketentuan ini tidak mutlak. Untuk
memperagakan berbagai dekorasi dan pergantian sub-lakon atau adegan
biasanya dipakai simbol berupa gunungan. Gunungan merupakan wayang
berbentuk besar di bawah, bagian atasnya meruncing seperti tumpeng. Di dalam
gunungan terdapat berbagai macam gambar binatang, misalnya banteng, kera, ular,
burung, yang berada dalam cabang-cabang pohon besar. Bahkan kadang tergambar
wajah menyerupai topeng raksasa. Gunungan sebagai simbol dari wilayah, atau
keadaan alam semesta beserta isinya. Pertunjukan wayang lazimnya dilakukan pada
waktu malam hari, namun bisa juga dilakukan pada siang hari, bahkan sehari
semalam. Lama pagelaran wayang untuk satu lakon cerita biasanya sekitar
7 sampai 8 jam. Dimulai dari jam 21.00 hingga subuh jam 05.00. Instrumen musik gamelan
yang digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang secara lengkap terdiri dari
dua kelompok rangkaian gamelan yakni pelog dan slendro. Namun
bila ingin digunakan rangkaian gamelan yang sederhana digunakanlah jenis slendro
saja. Selain waranggana atau beberapa vokalis putri yang mengiringi
dalang, masih ada vokalis pria yang disebut penggerong atau wiraswara,
yang terdiri empat hingga enam orang. Wiraswara bertugas mengiringi waranggana
dengan suara koor terkadang sahut-sahutan. Wiraswara bisa disediakan
khusus, atau bisa juga dirangkap oleh niyaga atau penabuh gamelan
sekaligus menjadi penggerong.
Wirayat Gaib dalam Penentuan Lakon
Dalam menentukan lakon untuk pagelaran wayang,
seorang dalang tidak bisa sekehendaknya sendiri dalam menentukan lakon
apa yang akan dibawakannya. Ia ditentukan oleh beberapa faktor.
Di antaranya adalah sbb:
1. jenis wayang yang dipergunakan sebagai alat
peragaan.
2. kepercayaan masyarakat sekitarnya.
3. keperluan diadakannya pertunjukan tersebut.
Khusus untuk acara-acara tertentu, terkadang seorang
penanggap wayang minta supaya dalang agar mencarikan judul atau lakon
sesuai wangsit yang ia terima. Wangsit akan diperoleh ki dalang bilamana telah
dilakukan kegiatan “nayuh” atau maneges kepada Gusti Ingkang Akarya
jagad akan jawaban suatu hal. Lakon yang didapat oleh seorang dalang
melalui wangsit biasanya dianggap sebagai bentuk jawaban atau gambaran akan
suatu hal. Dapat berupa gambaran deskripsi masa kini, maupun gambaran
futuristis. Pada zaman dahulu hingga sebagian besar dalang masa kini, salah
satu syarat untuk menjadi dalang diharuskan seseorang memiliki spiritualitas
relatif tinggi. Bahkan sudah bukan rahasia lagi, masyarakat sering mengukur
tingkat “kesaktian” (spiritualitas) seorang dalang bilamana ia sudah mampu
membawakan lakon Brantayudha. Selain parameter itu, seorang dalang akan
disegani bila ia mampu (kuat) melakukan pagelaran wayang untuk acara “ruwat
bumi”. Biasanya dalang ruwat bumi dimiliki atau menjadi lengganan pihak
kraton, sebut saja misalnya dalang pujaan Gus Dur dan langganan UGM, yakni Ki
Timbul Cermamenggala dari Bantul Yogyakarta. Beliau sering disebut-sebut pula
sebagai dalang kraton, karena pernah beberapa kali melakukan ruwatan bumi
Yogya-Sala atas permintaan dari kraton Yogyakarta.
Jenis wayang akan mempengaruhi lakon yang bisa
digelar. Seperangkat wayang purwa misalnya hanya dapat dipakai untuk memainkan
ceritera-ceritera dari Mahabarata atau Ramayana. Wayang kulit tidak bisa di
pakai untuk menampilkan babad Menak. Sebaliknya perangkat wayang golek tidak
dapat digunakan untuk melakonkan Mahabarata, sebab para tokoh yang ada dalam
jenis wayang tersebut sudah dibuat untuk pementasan lakon-lakon
tertentu.
Terutama dalam masyarakat Jawa yang masih patuh pada
tradisi dan adat istiadat peninggalan para leluhurnya, banyak dijumpai
pantangan-pantangan atas suatu lakon tertentu untuk pertunjukan wayang.
Misalnya beranggapan bahwa lakon Bharatayuda atau Brantayudha tabu untuk
dipentaskan dalam upacara perayaan perkawinan. Atau seorang secara pribadi
berani menanggap wayang dengan lakon Brantayudha, akan berat akibatnya di
kemudian hari, bisa berupa keterpurukan ekonomi, kesehatan atau keselamatannya.
Maka orang tidak berani melanggar pantangan ini, karena percaya bahwa
keluarganya akan mengalami kesusahan di kemudian hari. Entah akan ada anggota
keluarga yang meninggal, akan terjadi perceraian dalam keluarga tersebut, atau
malapetaka lainnya. Di daerah-daerah pedesaan juga masih banyak kita jumpai
upacara-upacara adat yang diselenggarakan dengan pertunjukan wayang. Untuk
suatu acara tertentu, lakon wayang yang dipentaskan harus disesuaikan pula.
Pada upacara bersih desa, yaitu selamatan sesudah panen, lakon yang harus
dipertunjukkan misalnya Kondure Dewi Sri atau Pulangnya Dewi Sri,
sedangkan untuk upacara ruwatan lakonnya adalah Bathara Kala.
Asal-usul Wayang
Mengenai asal mula timbulnya wayang di Indonesia,
terdapat berbagai pendapat dari para ahli yang dapat digunakan sebagai pedoman.
Menurut kitab sejarah Jawa Kuna di perpustakaan kraton Ngayogyakarta
Hadiningrat, pertunjukan wayang kulit asal mulanya menggunakan peralatan
sederhana, namun pakem aslinya masih regeneratif hingga sekarang, yakni dengan
menggunakan wayang berbahan kulit kerbau diukir dengan tatah,
menggunakan kelir, blencong, kepyak, kotak dan lain sebagainya. Menurut ahli
sejarah Kraton Yogyakarta yang dikenal waskita pula, kesenian wayang sudah
dapat dipastikan berasal dan merupakan hasil karya bangsa nusantara, alias
Indonesia asli di buat orang-orang di Jawa. Kesenian wayang ini mulai ada sejak
jauh sebelum kebudayaan Hindu datang. Kesenian wayang kulit pada mulanya merupakan
salah satu bentuk upacara keagamaan Jawa Kuna, atau upacara sakral yang
berhubungan dengan sistem kepercayaan waktu itu, yakni untuk menuju “Gusti
Murbeng Dumadi” (Tuhan pencipta alam semesta). Upacara wayang dilakukan di
malam hari oleh seorang medium yang konon disebut saman atau dilakukan
sendiri oleh kepala keluarga. Lakon yang digelar mengambil cerita-cerita
dari leluhur atau nenek moyang. Upacara ini dimaksudkan untuk memanggil dan
berkomunikasi dengan arwah nenek moyang. Tujuannya adalah memohon pertolongan
(doa) dan restunya apabila keluarga itu akan memulai suatu hajat atau tugas,
demikian pula bila telah selesai menjalankan tugas tertentu yang berat. Upacara
pagelaran wayang diperkirakan timbul pada jaman Neolithikum, atau pada ± tahun
1500 Sebelum Masehi. Dalam perkembangannya, upacara ini kemudian dikerjakan
oleh seorang seniman wayang yang sudah profesional, yakni Dalang.
Tradisi Wayang Sebagai Cagar Kearifan Lokal
Dalam kurun waktu yang cukup lama pertunjukan wayang
kemudian terus berkembang setahap demi setahap. Namun tetap mempertahankan
fungsi utamanya, yakni sebagai kegiatan berhubungan dengan sistim kepercayaan
dan sistem pengajaran akan falsafah nenek moyang secara turun temurun. Untuk
mempertahankan kesenian asli warisan nenek-moyang nusantara, kraton Mataram
Yogyakarta telah memberikan tempat hidup yang subur bagi kesenian wayang
terutama wayang purwa/kulit, sebagaimana tercermin dan didirikannya sekolah
dalang Habirandá pada tahun 1925 di Kraton Mataram Yogyakarta. Kini para dalang
lulusan sekolah Habirandá banyak tersebar di wilayah Yogyakarta, Jawa Tengah,
dan Jawa Timur. Sementara itu, pusat kesenian wayang orang, tetap
dilestarikan di lingkup Kraton Surakarta dan wilayah sekitarnya. Pertunjukan
dilakukan di gedung-gedung kesenian, dalam pertunjukan di desa-desa, serta di
media elektronik. Sebagai salah satu penggemar kesenian wayang kulit, hampir
setiap malam antara jam 23.00 hingga jam 03.00 terkadang jam 04.00,
siaran wayang kulit melalui berbagai radio di Yogyakarta selalu setia menemani
kami dalam kegiatan “metani keyboard”*.
Dan kelompok punakawan, Ki Lurah Semar, Nala Gareng, Petruk Kanthong
Bolong, Ki Lurah Bagong selalu saja menggugah jiwa-raga ini dari rasa “kantuk”
fisik dan “kantuk” batin. Nuwun Gong, Truk, Reng, Mar..!
Menurut pengamat kebudayaan Dr. A Ciptoprawiro dalam
tesisnya, wayang dianggap berfungsi sebagai pagelaran kesenian yang menyajikan
banyak nilai sebagai tuntunan (moral etik) dan tontonan (nilai estetik) karena
konsep etika dan estetika filsafat Jawa akan mewarnai di dalamnya. Etika
berkaitan dengan persoalan apa yang baik dan apa yang buruk. Pertentangan
antara yang baik dan yang buruk, harus dapat diatasi dengan peningkatan
kesadaran yang akan membawa manusia kepada kesempurnaan. Maka dalam pentas
pagelaran kesenian wayang memperlihatkan adanya proses menuju pendewasaan jiwa.
Pertentangan dan konflik yang dibangun dalam pergelaran wayang menunjukkan
pergulatan nilai, yang mengemukakan hukum sebab-akibat, kodrat alam, dan kodrat
Tuhan. Demikian juga dengan estetika yang mempertanyakan tentang apa yang indah
dan apa yang tidak indah. Keindahan dalam filsafat Jawa akan diukur dengan
realitas tertinggi. Dalam wayang dituntut harus ada semangat, grengseng
dan greget, yang semua itu merupakan proyeksi dari keindahan nilai
realitas tertinggi.
1. Struktur Pergelaran
Dalam pola intuisi akan memperlihatkan suatu proses
evolusi kesadaran akal-budi yang lahiriah, menuju kesadaran yang tertinggi
(higher counsciousness). Proyeksi nampak pada struktur aransemen yang diwakili
dengan rangkaian gamelan pada slendro patet 6, patet 9, dan patet
manyura memberikan gambaran adanya proses ini. Patet 6 seyogyanya
menceritakan tentang persoalan-persoalan yang timbul akibat keinginan, baik
yang bersifat kebendaan ataupun spiritual, dalam tataran dimensi ketiga. Patet
9, menceritakan tentang proses seorang tokoh atau ksatria untuk mendapatkan
kebenaran higher reality yang akan menjadi dasar atas tindakannya dalam
menyelesaikan persoalan. Patet Manyuro, atas kedewasaan jiwa yang didapatkan
berkat adanya pencerahan moral (dalam patet 9) maka seorang ksatria atau tokoh
tersebut melakukan tindakan atas dasar tersebut dengan cara pandang dan
pengetahuan yang baru. Sikap ini dibedakan dengan sikap dan cara pandang lama
yang masih dalam tataran dimensi ke III dalam patet 6. (Dr. A
Ciptoprawiro, dan dalam Kitab pakem Pewayangan, pustaka kraton Yogya)
2. Garap tokoh
Seorang dalang menampilkan tokoh atau guru yang
mempunyai tingkat kesadaran yang tinggi yang mempunyai pengetahuan simbolik
mampu menjelaskan secara gamblang serta mengajarkannya kepada ksatria atau
tokoh. Harus ada perbedaan sikap yang jelas dari ksatria dan tokoh, yang
bisa ditunjukkan kepada penonton, sebelum dan sesudah mendapat pengajaran dari
sang guru.
3. Garap Catur
Dalang dituntut mampu menunjukkan percakapan dialektis
dalam melakonkan wayang, babak yang menampilkan dialog kritis, cerdik dan
cerdas, yang bisa melahirkan pengetahuan sejati. (Kitab Pakem Pewayangan)
Dalang Legendaris dan Asalnya:
Ki Narto
Sabdo
asal Semarang Jateng
Ki Hadi
Sugito
asal Kulonprogo Yogya
Ki Gita
Sewaya
asal Blitar jatim
Ki Gondo
Buwono
asal Madiun
Ki Anom
Suroto
asal Solo jateng
Ki Panut
Darmoko
asal Nganjuk Jatim
Ki Manteb
Sudarsono asal
Karanganyar Solo
Ki Timbul Cermomenggolo asal Bantul
Yogyakarta
Ki Murdi
Kandhamurdiyat asal Tulungagung Jatim
Ki Pringga
Darsono asal
Sragen
Ki Rusman S Hadikusumo asal
Semarang
Ki Sunaryo asal
Surabaya
Ki Asep Sunandar S asal Bandung Jabar
(wayang-
golek)
Masih banyak lagi para profesional Dalang dari
wilayah Banyumas, serta dalang kontemporer. Di kenal Dalang Edan, Dalang Suket,
Dalang Jemblung, dan yang lain-lainnya.
Peralatan Dalam Pagelaran Wayang
Blencong : Lampu minyak kelapa
untuk menerangi layar.
Dalang :
Orang yang menjalankan lakon wayang.
Kelir :
Gedebok pisang digunakan untuk
menancapkan
wayang.
Wayang : Sejenis boneka
dua dimensi yang
digerakkan oleh dalang.
Gamelan : Alat musik tradisional
Jawa untuk
mengiringi pementasan.
Niyaga : Orang
yang menabuh gamelan.
Lakon :
Jalan cerita atau judul.
Sabetan : Gerak gerik wayang
yang dijalankan
Ki Dalang.
Beber :
Layar untuk menangkap bayangan wayang
dalam ajang sabetan.
Waranggana : Tim vokalis tembang dalam
pentas
wayang.
Panyumping : Asisten dalang yang bertugas
membantu
menyiapkan ubo rampe dan membantu
mengurutkan wayang.
Kothak/Pethi : Kotak kayu untuk menyimpan wayang
yang belum dan sudah ditampilkan.
KEDALAMAN
FILSAFAT BLENCONG
Dalam falsafah Jawa sebagaimana tersurat dalam Serat
Gatholoco yang kontroversial itu, namun kenyataannya sarat akan falsafah
kawruh kawaskithan. Isi di dalamnya salah satunya terdapat cangkriman
(tebakan) antara si manusia buruk rupa bernama Gatholoco dengan para santri di
pondok Cepekan. Gatholoco merupakan figur manusia yang tak bisa diukur hanya
melalui apa yang tampak oleh mata wadag saja (jalma tan kena kinira).
Biarpun secara fisik sangat buruk dan baunya tak enak, namun ia memiliki
filsafat hidup sangat tinggi sekali. Setidaknya hal itu mengajarkan kepada
kita, jangan sampai kita gegabah menilai orang lain semata-mata dari yang tampak
oleh mata, dan apa yang bisa dibaca secara verbal.
Gatholoco Bertanya
Gatholoco nulyà ngucap, dalang wayang lawan kělir, lan
baléncong ngěndi kang tuwà, badéněn cangkriman iki. Yèn sirà nyàtà wasis,
městhi wěruh ingkang sěpuh, Ahmad Arif ambatang kělir kang tuwà pribadi, Abdul
Jabar ambatang, Ki dalang kang tuwà déwé. Abdulmanap kanthi wicak ambatang,
mênàwà tuwà déwé ora liyà wayangé.
Gatholoco kemudian berkata, dalang wayang dan kelir,
serta blencong mana yang paling tua, tebaklah peribahasa ini. Bila kamu memang
pandai pasti mengetahui mana yang paling tua sendiri. Ahmad Arif menebak, kelir
yang paling tua sendiri, menurut Abdul Jabar yang paling tua adalah dalangnya.
Abdul Manap lain lagi, menebak bila yang paling tua tidak lain adalah wayangnya.
Namun bagi Gatholoco kesemua jawaban tersebut belumlah tepat.
Jawaban Versi Gatholoco :
Bila menurutku, blencong lah yang paling tua sendiri.
Walaupun kelir sudah dipasang, gamelan sudah siap tertata, dalang duduk siap,
namun bila panggungnya masih gelap tentunya belum bisa berjalan
pementasan wayangnya. Penonton pun tak bisa melihat akan warna warni rupa
wayang yang perpasang di sepanjang kelir. Bila blencong sudah dinyalakan,
barulah tampak berjejer wayang menancap di sepanjang kelir. Di atas di bawah,
di kiri dan di kanan, tampak Pandawa dan Kurawa berjajar saling berhadapan.
Dalang di bawah blencong dapat memilih wayang-wayang yang akan dilakonkan.
Dalang dapat menimbang besar kecilnya wayang, memilih dan memilah dalam
masing-masing kelompok. Sifat dan watak wayang digolongkan sendiri-sendiri
sesuai dengan karakternya, sesuai pula dalang mengucap intonasinya. Semua
itu bisa berjalan karena lampu blencong telah menerangi jagad pakeliran, dalam
pagelaran lakon wayang. Oleh karena itu blenconglah yang paling
tua. Begitulah jawaban Si manusia buruk rupa Gatholoco.
Makna Di Balik Ucapan Gatholoco
Agar mengetahui maksud pemikiran Gatholoco, sebelumnya
marilah kita sama-sama mengupas satu-persatu makna filsafat di balik peralatan
dalam pentas wayang. Bunyi gamelan, wayang yang diiringi gamelan, dalang hanya
sekedar mengucap, si wayang lah yang memiliki bunyi. Kurang lebih artinya,
(seolah) semua patuh pada kehendak dalangnya, berkuasa atas semua wayang dan
lakon, akan tetapi jangan terkecoh, Ki Dalang hanya sekedar melakonkan wayang,
alias Ki dalang hanya sekedar mengikuti alur cerita yang telah ada sebelumnya.
Perintah orang yang menanggap pagelaran wayang,
disebut Gatholoco sebagai Kyai Sepi, artinya sěpi tanpà
ànà, ànàné ginělar yěkti, langgeng tan owah
gingsir, tanpa kurang tanpa wuwuh, tanpà rèh tanpa guna, ingkang luwih
masesani, ing solahe wayang ucape Ki dalang; sepi tanpa ada, adanya tidak
lain sejatinya yang telah tergelar di alam semesta, tetap abadi, tiada
berkurang tiada bertambah, tanpa sebab tanpa guna, yang lebih menguasai, ada
pada tingkah Ki dalang dan ucapannya.
Yang pasti menjalani yang baik dan buruk, penonton dan
yang nanggap wayang, yakni disebut Kyai Urip. Bila lampu blencong sudah
mati, semuanya menjadi suwung awang uwung, tiada apapun, ibarat kita
belum lahir ke bumi, batin kita suwung tiada apapun.
Baiklah supaya lebih mudah dipahami filsafat di alam
pemikiran si buruk rupa Gatholoco mari kita bahas satu-persatu mengenai
instrumen dalam pementasan wayang sbb;
Běběr
Disebut pula layar putih tanpa noda. Merupakan
gambaran mercàpàdà atau bumi ini yang sesungguhnya merupakan tempat
suci. Di manapun tempat, wilayah, daerah, negara, daratan semuanya adalah
tempat suci. Jika ada tempat tidak suci, atau dianggap lembah hitam atau kotor,
sesungguhnya hanyalah penilaian subyektif atau sekedar manusianya yang kotor,
bukan bumi tempat mereka berpijak. Layar sebagai gambaran bumi, menjadi
panggung pementasan “sandiwara kehidupan” wayang.
Kělir
Kělir adalah gěděbok (batang)
pohon pisang. Jika tidak dipakai lagi untuk menancapkan wayang, maka kělir akan
dibuang menjadi barang busuk berbau dan tak ada gunanya, lalu kembali menjadi
tanah. Kělir ibarat raga atau jasad kita yang digunakan sebagai tempat
bersemayamnya sukma kita. Jasad yang digunakan sebagai media sukma agar dapat
berbuat sesuatu di dalam dimensi wadag měrcapada (bumi).
Wayang
Wayang mempunyai dua dimensi, jika ditonton dengan
benar seharusnya dari balik layar pementasan. Yang yampak adalah siluet bayangan
hitam si wayang. Wayang adalah jiwa, atau jiwànggà, jiwà ing ànggà
yakni jiwa yang manjing di raga. Sedangkan bayangan wayang di balik běběr
atau layar ibaratnya “guru sejati” atau sukma sějati.
Pěthi
Kotak kayu untuk menyimpan wayang yang belum dikeluarkan
atau wayang yang sudah mati. Tokoh wayang yang sudah mati, pasti meninggalkan
kelirnya dan dimasukkan oleh dalang ke dalam kotak pěthi. Pethi ibaratnya liang
kuburan. Jika anda serem akan liang kuburan, karena belum memahami makna liang
kubur. Liang kubur sesungguhnya pintu kecil, gelap, pengap dan sempit, namun
menjadi “lorong” atau pintu masuk menuju ke alam gaib para leluhur yang terang
benderang dan menakjubkan (bagi yang perbuatannya pada sesama baik, bagi
yang tdk baik saya nggak tahu).
Dalang
Dalang adalah orang yang hanya sekedar menjalankan
cerita-cerita (lakon) wayang yang telah ada sebelumnya. Meskipun demikian,
dalang harus memahami betul pakem gamelan, karakter wayang, cengkok tembang,
pribadi masing-masing waranggana dan wiyaga. Dalang menjadi
pembawa cerita, sekaligus pemimpin atau komando bagi seluruh tim yang
bersama-sama menjalankan pementasan “sandiwara kehidupan” wayang. Kekompakan
terjadi bilamana para waranggana, wiyaga, dan asisten dalang memahami secara
persis bagaimana jalan cerita lakon, menghayatinya serta bagaimana
keinginan-keinginan Ki Dalang selama melakonkan wayang.
Dalang ibarat pemuka agama, tokoh masyarakat,
koordinator paguyuban dan perkumpulan, sesepuh desa, pemuka adat, pemimpin
spiritual, yang hanya sekedar menjalankan hukum kodrat Tuhan, hukum alam,
nilai-nilai tradisi dan budaya yang telah ada sebelumnya untuk mendasari lakon
kehidupan di mercapada, sejak bumi ini ada. Siapapun boleh dan bisa
menjadi dalang. Tidak pandang derajat, pangkat, golongan. Maknanya, setiap
orang boleh dan bisa menjadi ahli spiritual, pemuka adat, tokoh masyarakat,
tokoh agama, dst. Setiap manusia berhak menjadi khalifah di mercapada.
Tak perlu menunggu disuruh-suruh Tuhan. Syaratnya hanyalah, memahami akan nilai
kesejatian kebenaran, memiliki banyak ilmu pengetahuannya, serta mampu
mengendalikan diri agar menjadi manusia yang arif, berwibawa, bijaksana, adil
dan paling penting adalah bersedia berbuat kebaikan pada sesama tanpa pandang
apa sukunya, apa agamanya, apa budayanya, dari mana asalnya, siapa namanya, apa
jabatannya. Dalang menjadi jalma manungsa kang hambeg utama, sadrema netepi
titahing Gusti. Umpama manusia-manusia suci penegak keadilan dan kebenaran
di muka bumi, yang hanya menetapkan segala tindakannya sesuai lakon dalam
kodrat Hyang Widhi.
Blencong
Blencong merupakan lampu penerang letaknya di depan
layar, di atas Ki dalang duduk bersila. Blencong menggunakan bahan bakar minyak
kelapa, sehingga nyalanya relatif lama, apinya bersih, baunya juga harum dan
gurih. Filsafat blencong umpama wahyu kehidupan, atau atmà sejati yang
menghidupkan segala yang hidup, cahaya blencong umpama cahyà sejati.
Blencong berasal dari Hyang Widhi yang tak tergambarkan dalam pagelaran wayang.
Blencong asale sàkà wahananing Gusti Kang Murbeng Dumadi.
Cahaya blencong adalah cahyà sejati, yang menerangi seluruh pagelaran
wayang kulit, yakni meliputi seluruh jagad gumelar. Cahyà sejati,
menyinari wayang (sukmà sejati), menyinari Ki Dalang dan kelir.
Blencong dan sinarnya ibarat tejà lan cahyà. Yakni umpama
Bethara Nurrada dan Bethàrà Teja (Antàgà). Càhyà sejati, cahaya
kehidupan merambah ke dalam badan, di luar dan di dalam, di bawah dan di atas,
berasal dari Yang Maha Hidup atma sejati, wujudnya berasal dari Hyang
Mahamulya. Wujudnya menjadi Wujud Yang Maha Tunggal. Ora ànà PĂRĂ Màhà
Tunggal kajàbà kang NYAWIJI Màhà Tunggal.
Gatholoco Pergi meninggalkan Pertanyaan :
..Yèn wayang mari tinanggap, wayangé kalawan kêlir
sinimpên sajroning kothak, baléncong pisah lan kêlir, dalang pisah lan ringgit,
marang êndi paranipun, sirnaning baléncong wayang, upayanên dèn kêpanggih, yèn
tan wêruh sirà urip kàyà rêcà…
Bilamana pertunjukan wayang telah
usai,
wayang dan kelir disimpan dalam
kotak,
blencong terpisah dengan kelir,
dalang terpisah dengan wayang,
di manakah
tujuannya,
hilangnya blencong wayang,
carilah sampai
ketemu,
bila tak mengerti
kamu ibarat
hidup seperti arca.
Bénjang yèn sirà palastrà, uripmu ànà ing ngêndi,
saikine sirà gêsang, patimu ànà ing ngêndi, uripmu bakal mati, pati nggàwà urip
iku, ing ngêndi kuburirà, sirà gàwà wira-wiri, tuduhênà dunungé
panggonanirà…..
Besok bila kamu mati,
hidupmu ada di
mana,
sekarang ini kamu hidup,
kematianmu ada
di mana,
hidupmu bakal mati,
kematian membawa kehidupan,
di mana
kuburanmu,
kamu bawa kesana-kemari,
tunjukkan di
manakah tempatmu.
Apa jawabannya…?
Namun hati-hatilah menjawab, karena pertanyaan
Gatholoco tersebut merupakan pertanyaan mengandung dua dimensi yakni lahir dan
batin. Jasad dan spirit (roh), artinya bukan sekedar pertanyaan lugas, namun
lebih cenderung kiasan. Misalnya: …besok bila kamu mati. Maksudnya yang
mati adalah NAFSU. Mangga, marilah kita bahas bersama…
PUSAKA HASTA BRATA; Calon Presiden
Wajib Memiliki !
Rahasia
Kesuksesan Kepemimpinan Jawa
Pusaka
Hasta Brata
(Wahyu
Makutha Rama)
Prakata
Dalam wacana falsafah pewayangan Jawa dikenal suatu
konsepsi Ilmu Luhur yang menjadi prinsip dasar kepemimpinan a la Jawa.
Yakni ilmu “Hasta Brata” atau dikenal pula sebagai Wahyu Makutha Rama
yang diterima Raden Arjuna setelah menjalani “laku” prihatin dengan cara
tapa brata dan tarak brata (Lihat : serat Laksita Jati). Hasta
berarti delapan, brata adalah “laku” atau jalan spiritual/rohani. Hasta
Brata maknanya adalah delapan “laku” yang harus ditempuh seseorang bila
sedang menjalankan tampuk kepemimpinan. Kedelapan “laku” sebagai personifikasi
delapan unsur alamiah yang dijadikan panutan watak (watak
wantun) seorang pemimpin. Kedelapan unsur tersebut meliputi delapan
karakter unsur-unsur alam yakni : bumi, langit, angin, samudra-air, rembulan,
matahari, api, dan bintang. Bila seorang pemimpin bersedia mengadopsi 8
karakter unsur alamiah tersebut, maka ia akan menjadi pemimpin atau raja yang
adil, jujur, berwibawa, arif dan bijaksana. Hal ini berlaku pula untuk
masyarakat luas, bilamana seseorang dapat mengadopsi ilmu Hasta Brata ia akan
menjadi seseorang yang hambeg utama, berwatak mulia, luhur budi pekertinya.
PUSAKA HASTA BRATA (Wahyu Makutha Rama)
Hasta Brata, atau Wahyu Makutha Rama merupakan sebuah
ilmu yang termasuk bukan ilmu sembarangan. Artinya memiliki makna yang sangat
tinggi yang terkandung di dalam prinsip-prinsip hukum alamiah di dalamnya. Dalam
cerita pewayangan wahyu Makutha Rama atau dikenal pula sebagai ilmu Hasta Brata
pernah berhasil sukses menghantarkan dua tokoh atau dua orang raja besar
titisan Bathara Wisnu, yakni Sri Rama Wijaya duduk sebagai raja di kerajaan
Ayodya, dan Sri Bathara Kresna adalah raja yang bertahta di kerajaan Dwarawati.
Selanjutnya diceritakan Sri Bathara Kresna membuka rahasia ilmu Hasta Brata
kepada Raden Arjuna Wiwaha, sebagai saudara penengah di antara Pendawa Lima.
Dikatakan bahwa anasir ke-delapan unsur alam semesta tersebut dapat menjadi
teladan perilaku sehari-hari dalam pergaulan masyarakat terlebih lagi dalam
rangka memimpin negara dan bangsa. Inilah antara lain sebagaimana yang saya
maksudkan dengan sinergi dan harmonisasi antara jagad kecil
dengan jagad besar. Lihat http://sabdalangit.wordpress.com/category/falsafah-jawa/menelisik-rahasia-filsafat-kejawen-1/
Kedelapan unsur alam semesta tersebut menggambarkan
pula 8 Dewa beserta sifat-sifatnya, seperti di bawah ini ;
- Mulat Laku Jantraning Bantala (Bumi ; Bethara Wisnu)
- Mulat Laku Jantraning Surya (Matahari ; Bethara Surya)
- Mulat Laku Jantraning Kartika (Bintang ; Bethara Ismaya)
- Mulat Laku Jantraning Candra (Rembulan ; Bethari Ratih)
- Mulat Laku Jantraning Samodra atau Tirta (Bathara Baruna)
- Mulat Laku Jantraning Akasa (Langit ; Bathara Indra)
- Mulat Laku Jantraning Maruta (Angin ; Bathara Bayu)
- Mulat Laku Jantraning Agni (Api ; Bethara Brahma)
1. Watak Bumi (Hambeging Kisma)
Digambarkan watak Bethara Wisnu sebagai
karakter bumi yang memiliki sifat kaya akan segalanya dan suka berderma.
Pemimpin yang mengikuti sifat bumi adalah seseorang yang memiliki sifat kaya
hati. Dalam terminologi Jawa kaya hati disebut sabardrono, ati jembar,
legawa dan lembah manah. Rela menghidupi dan menjadi sumber
penghidupan seluruh makhluk hidup. Bumi secara alamiah juga berwatak melayani
segala yang hidup. Bumi dengan unsur tanahnya bersifat dingin tidak kagetan
dan gumunan, sebaliknya bersifat luwes (fleksibel) mudah adaptasi
dengan segala macam situasi dan kondisi tanpa harus merubah unsur-unsur
tanahnya. Maknanya, sekalipun seseorang bersifat mudah adaptasi atau fleksibel
namun tidak mudah dihasut, tak mempan diprovokasi, karena berbekal ketenangan
pikir, kebersihan hati, dan kejernihan batinnya dalam menghadapi berbagai macam
persoalan dan perubahan.
Bumi juga selalu menempatkan diri berada di bawah
menjadi alas pijakan seluruh makhluk. Artinya seseorang yang bersifat bumi akan
bersifat rendah hati, namun mampu menjadi tumpuan dan harapan orang banyak.
Sifat tanah berlawanan dengan sifat negatif api. Maka tanahlah yang memiliki
kemampuan efektif memadamkan api. Api atau nar, merupakan ke-aku-an yang
sejatinya adalah “iblis” yakni tiada lain nafsu negatif dalam diri manusia.
Seseorang yang bersifat bumi atau tanah, tidak akan lepas kendali mengikuti
jejak nafsu negatif.
Bumi dalam hukum adi kodrati memiliki prinsip
keseimbangan dan pola-pola hubungan yang harmonis dan sinergis dengan kekuatan
manapun. Namun demikian, pada saat tertentu bumi dapat berubah karakter menjadi
tegas, lugas dan berwibawa. Bumi dapat melibas kekuatan apapun yang
bertentangan dengan hukum-hukum keseimbangan alam. Seseorang yang memiliki
watak bumi, dapat juga bersikap sangat tegas, dan mampu menunjukkan
kewibawaannya di hadapan para musuh dan lawan-lawannya yang akan mencelakai
dirinya. Akan tetapi, bumi tidak pernah melakukan tindakan indisipliner yang
bersifat aksioner dan sepihak. Karena ketegasan bumi sebagai bentuk akibat
(reaksi) atas segala perilaku disharmoni.
2. Watak Matahari (Hambeging Surya)
Matahari bersifat menerangi. Seseorang yang berwatak
matahari akan selalu menjadi penerang di antara sesama sebagaimana watak Bathara
Surya. Mampu menyirnakan segala kegelapan dalam kehidupan. Kapanpun dan di
manapun ia akan selalu memberikan pencerahan kepada orang lain. Matahari juga
menghidupi segala makhluk hidup baik tumbuhan, hewan dan manusia. Manfaat
matahari menjadi penghangat suhu agar tidak terjadi kemusnahan massal di muka
bumi akbiat kegelapan dan kedinginan. Seseorang yang berwatak matahari, ia
menjadi sumber pencerahan bagi kehidupan manusia, serta mampu berperan sebagai
penuntun, guru, pelindung sekaligus menjalankan dinamika kehidupan manusia ke
arah kemajuan peradaban yang lebih baik. Sikap dan prinsip hidup orang yang
berwatak matahari, ia akan konsisten, teguh dalam memegang amanat, ora
kagetan (tidak mudah terkaget-kaget), ora gumunan (tidak
gampang heran akan hal-hal baru dan asing).
Seseorang watak matahari ibarat perjalanan matahari
yang berjalan pelan dalam arti hati-hati tidak terburu-buru (kemrungsung),
langkah yang pasti dan konsisten pada orbit yang telah dikodratkan Tuhan
(istikomah). Lakuning srengenge, seseorang harus teguh dalam menjaga
tanggungjawabnya kepada sesama. Tanggungjawabnya sebagai titah (khalifah)
Tuhan, yakni menetapkan segala perbuatan dan tingkah laku diri ke dalam “sifat”
Tuhan. Tuhan Maha Mengetahui; maka kita sebagai titah Tuhan hendaknya
terus-menerus berusaha mencari ilmu pengetahuan yang seluas-luasnya dan
setinggi-tingginya agar ilmu tersebut bermanfaat untuk kemajuan pradaban
manusia, menciptakan kebaikan-kebaikan yang konstruktif untuk kemaslahatan
semua orang dan menjaga kelestarian alam sekitarnya.
3. Watak Bintang (Hambeg Kartika)
Kartika atau bintang berwatak selalu mapan dan
tangguh, walaupun dihempas angin prahara (sindhung riwut) namun
tetap teguh dan tidak terombang-ambing. Sebagaimana watak Bathara Ismaya,
dalam menghadapi persoalan-persoalan besar tidak akan mundur selangkahpun
bagaikan langkahnya Pendawa Lima. Sifat Bethara Ismaya adalah tertata, teratur,
dan tertib. Mampu menghibur yang lagi sedih, dan menuntun orang yang sedang
mengalami kebingungan, serta menjadi penerang di antara kegelapan. Seseorang
yang mengadopsi perilaku bintang, akan memiliki cita-cita, harapan dan target
yang tinggi untuk kemakmuran dan kesejahteraan tidak hanya untuk diri sendiri
namun juga orang banyak. Maka sebutan sebagai “bintang” selalu dikiaskan dengan
suatu pencapaian prestasi yang tinggi. Posisi bintang akan memperindah
kegelapan langit di malam hari. Orang yang berwatak bagai bintang akan selalu
menunjukkan kualitas dirinya dalam menghadapi berbagai macam persoalan
kehidupan.
4. Watak Rembulan (hambeg Candra)
Candra atau rembulan, berwatak memberikan penerang
kepada siapapun yang sedang mengalami kegelapan budi, serta memberikan suasana
tenteram pada sesama. Rembulan membuat terang tanpa membuat “panas” suasana
(dapat ikannya, tanpa membuat keruh airnya). Langkah rembulan selalu membuat
sejuk suasana pergaulan dan tidak merasa diburu-buru oleh keinginannya sendiri
(rahsaning karep). Watak rembulan menggambarkan nuansa keindahan
spiritual yang mendalam. Selalu eling dan waspadha,
selalu mengarahkan perhatian batinnya senantiasa berpegang pada harmonisasi dan
keselarasan terhadap hukum alam (arab; kehendak ilahi/musyahadah). Lakuning
rembulan, seseorang mampu “nggayuh kawicaksananing Gusti” artinya
mampu memahami apa yang menjadi kehendak (kebijaksanaan) Sang Jagadnata.
Setelah memahami, lalu kita ikuti kehendak Tuhan menjadi sebuah “laku tapa
ngeli” artinya kita hanyutkan diri pada kehendak Ilahi. Witing klapa
salugune wong Jawa, dhasar nyata laku kang prasaja.
Orang yang berwatak rembulan, selalu mengagumi
keindahan ciptaan Tuhan yang tampak dalam berbagai “bahasa” alam sebagai
pertanda kebesaran Tuhan. Bulan purnama menjadi bahasa kebesaran Tuhan yang
indah sekali. Orang-orang tua dan anak-anak zaman dahulu selalu bersuka ria
saat merayakan malam bulan purnama. Karena menyaksikan keindahan malam bulan
purnama, bagai membaca “ayat-ayat” Tuhan, mampu menggugah kesadaran batin dan
akal-budi manusia akan keagungan Tuhan. Sayang sekali kebiasaan itu sudah
dianggap kuno, kalah dengan hiburan zaman modern yang kaya akan tawaran-tawaran
hedonis. Bahkan secara agama, kebiasaan merayakan “padhang mbulan“ oleh
orang-orang tertentu dianggap sebagai tradisi yang sia-sia karena tidak
menimbulkan pahala. Padahal bulan purnama memiliki khasiat lain sebagai
media terapi lahir dan batin di saat terjadi berbagai kegelisahan jiwa. Sinar
bulan purnama sangat baik untuk mengobati segala macam penyakit dengan cara
menjemur diri di bawah sinar bulan purnama. Apalagi disertai dengan semedi
sebagai wahana olah raga dan olah rasa. Itulah mengapa leluhur
kita zaman dahulu melakukan semadi pada saat datangnya bulan purnama.
5. Watak Samodra
Mengambil sisi positif dari watak samodra. Samodra
atau lautan memiliki karakter yang dapat memuat apa saja yang masuk ke
dalamnya. Walaupun berupa sampah industri dan rumah tangga, bangkai anjing,
bangkai manusia, semua dapat diterima dengan sikap tulus tidak pernah
menggerutu. Dalam terminologi Jawa terdapat kalimat permohonan maaf sebagai
berikut; nyuwun lumebering sih samodra pangaksami bilih wonten
kathahing kalepatan. Watak samudra maknanya adalah hati yang luas, penuh
kesabaran, serta siap menerima berbagai keluhan atau mampu menampung beban
orang banyak tanpa perasaan keluh kesah. Samodra menggambarkan satu wujud air
yang sangat luas, namun di dalamnya menyimpan kekayaan yang sangat bernilai dan
bermanfaat untuk kehidupan manusia. Namun samodra tidak pernah pamer potensinya
yang bernilai besar kepada orang banyak. Samodra memendam segala kemampuan,
kelebihan dan potensinya berada dalam kandungan air yang dalam. Watak
samodra menggambarkan jalma tan kena kinira, orang yang tampak
bersahaja, tidak norak, tidak dapat disangka-sangka sesungguhnya ia
menyimpan potensi yang besar di berbagai bidang, namun tabiatnya sungguh
jauh dari sifat takabur, atau sikap menyombongkan diri.
Manusia watak samodra, tidak pernah membeda-bedakan
golongan, kelompok, suku, bangsa, dan agama. Semua dipandang sama-sama makhluk
ciptaan Tuhan yang memiliki kesamaan derajat di hadapan Tuhan. Yang mebedakan
adalah akal-budinya, keadaan batin, serta perbuatannya terhadap sesama. Dalam
bidang keilmuan, watak samodra akan sangat arif dan bijaksana. Sekalipun
berilmu tinggi ia sangat merendah bahkan berlagak bodoh. Sebagaimana watak Bima
Sena, yang mampu menutupi (tidak pamer) akan ilmunya yang luas, sehingga dapat
menyesuaikan diri secara sempurna dengan siapapun dan di manapun ia berada.
Satu lagi, watak samodra yang paling dahsyat adalah kemampuannya untuk
menetralisir segala yang kotor dan polutan. Limbah tak bertanggungjawab yang
dibuang ke laut akan diproses secara-pelan-pelan dan akhirnya racun dan bakteri
yang masuk ke laut akan tak berdaya bergulat dengan molekul air samodra yang
jenuh akan unsur garam. Orang berwatak samodra akan mampu mengurai dan
memberikan jalan penyelesaian berbagai problema yang ia hadapi, maupun problema
yang dialami orang lain. Bersediakah Anda berwatak nyegoro ?
Watak Air (Hambeg Tirta)
Mengambil sisi positif dari watak maruta. Tirta atau
air berwatak selalu rendah hati dalam perilaku badan (solah) dan perilaku batin
(bawa) atau andhap asor. Selalu menempatkan diri pada tempat yang
rendah, umpama perilaku dinamakan rendah hati (lembah manah) dan sopan
santun (andhap asor). Orang yang berwatak air akan selalu rendah hati,
mawas diri, bersikap tenang, mampu membersihkan segala yang kotor. Air selalu
mengalir mengikuti lekuk alam yang paling mudah dilalui menuju samodra. Air
adalah gambaran kesetiaan manusia pada sesama dan pada kodrat Tuhan. Air tidak
pernah melawan kodrat Tuhan dengan menyusuri jalan yang mendaki ke arah gunung,
meninggalkan samodra. Orang yang berwatak air, perbuatannya selalu berada pada
kehendak Tuhan, jalan yang ditempuh selalu diberkahi Gusti Kang Murbeng Dumadi.
Sehingga watak air akan membawa seseorang menempuh jalan kehidupan dengan irama
yang paling mudah, dan pada akhirnya akan masuk kepada samodra anugrah Tuhan
Yang Maha Besar. Tapi jangan mengikuti watak air bah, tsunami, lampor, rob,
yang melawan kodrat Tuhan, perbuatan seseorang yang menerjang wewaler, religi,
tatanan sosial, tata krama, hukum positif, serta hukum normatif.
Berwatak air, akan membawa diri kita dalam sikap yang
tenang, tak mudah stress, tidak mudah bingung, tidak gampang kagetan,
lemah-lembut namun memiliki daya kekuatan yang sangat dahsyat. Sikap kalem
tidak bertabiat negatif. Namun hati-hatilah karena orang sering merasa sudah
mengikuti watak air, namun tidak menyadari yang diikuti adalah air bah,
maknanya adalah watak cenderung membuat kerusakan, diburu-buru, tanpa
perhitungan, asal ganyang, buta mata akan resiko, yang penting gasak dulu,
urusan dipikir dibelakang (pecicilan/pencilakan/cenanangan/jelalatan).
6. Watak Langit (Hambeg Akasa)
Akasa atau langit.
Bersifat melindungi atau mengayomi terhadap seluruh makhluk tanpa pilih
kasih, dan memberi keadilan dengan membagi musim di berbagai belahan bumi.
Watak langit ini relatif paling sulit diterapkan oleh manusia zaman sekarang,
khususnya di bumi nusantara ini. Seorang pemimpin, negarawan, politisi, yang
mampu bersikap tanpa pilih kasih dan bersedia mengayomi seluruh makhluk
hidup, merupakan tugas dan tanggungjawab yang sangat berat. Apalagi di tengah
kondisi politik dan kehidupan bermasyarakat yang cenderung mencari benarnya
sendiri, mencari untungnya sendiri, dan mencari menangnya sendiri. Tidak jarang
seseorang, atau wakil rakyat yang hanya memperjuangkan kepentingan partainya
saja, bukan kepentingan bangsa. Bahkan anggota legislatif, pimpinan masyarakat,
para aktor intelektual, pemuka spiritual terkadang tak menyadari sedang
mengejar kepentingannya sendiri, atau kepentingan kelompoknya saja. Orang-orang
di luar diri atau kelompoknya dianggap tidak penting untuk diayomi.
Orang yang berbeda peristilahan, bahasa, budaya, adat istiadat, dan tradisi
sekalipun sebangsa dan setanah air, tetap saja diasumsikan sebagai orang
yang tak perlu di bela dan dilindungi. Bahkan orang-orang tersebut
dianggap sesat, pembual, pembohong, penipu. Prasangka-prasangka negatif
ini sangat bertentangan dengan watak akasa. Akasa atau langit akan
melihat secara gamblang beragamnya persoalan kehidupan di muka bumi ini.
Kewaskitaan akasa seumpama mata satelit, ia akan menyaksikan bahwa
ternyata di atas bumi ini terdapat ribuan bahkan jutaan jalan spiritual
menuju satu titik yang sama, meskipun jalan yang ditempuh sangat beragam
dan berbeda-beda. Maka watak langit tak suka menyalahkan orang lain, tak suka
menghujat sesama, tak suka memaki dan mengumpat sekalipun terhadap orang
yang memusuhinya. Itulah watak langit, sebagaimana terdapat pada Bethara
Indra. Justru terhadap semua manusia apapun watak, dan bagaimanapun
sikapnya Bethara Indra akan selalu ngemong sesama, mampu mengelola watak
mengalah, mampu menahan diri, meredam emosi, dan membimbing seluruh makhluk
hidup dengan cara yang penuh dengan kasih sayang. Dalam manajemen perilaku
Jawa, sikap ini selalu diutamakan terutama dalam pasamuan, bebrayan
(bermasyarakat), pertemuan, diskusi, dan dalam berbagai pergaulan. Maka
watak Jawa menuntut perilaku hambeg utama, lumuh banda, luhur
dalam budi pekerti atau solah (perilaku jasad) dan bawa (perilaku
batin). Sedangkan terhadap yang masih bodoh, sikapnya tiada pernah
mempermalukan dan meremehkan. Itulah watak Bathara Indra, sebagai watak akasa
atau langit. Sayang sekali, watak ini sudah terkena polusi “watak asing”
yang menjadikan seseorang tidak canggung mencaci orang lain yang berada
di luar kelompoknya, dan menyalahkan orang yang tak sepaham dengannya. Salah
satu sikap, bila ingin mengaplikasi watak Bathara Indra, bilamana kita
berangkat dengan kesadaran bahwa ilmu pengetahuan yang kita kuasai
seumpama sebutir debu yang beterbangan, maka kita tak akan pernah
memiliki watak merasa paling benar dan pandai. Karena rahasia ilmu yang
terdapat di jagad raya ini adalah sebanyak debu yang ada di seluruh alam
semesta.
7. Watak Angin (Hambeg Maruta)
Maruta atau angin atau udara. Mengambil sisi positif
dari watak angin Bathara Bayu. Angin memiliki watak selalu menyusup di
manapun ada ruang yang hampa, walau sekecil apapun. Angin mengetahui situasi
dan kondisi apapun dan bertempat di manapun. Kedatangannya tidak pernah diduga,
dan tak dapat dilihat. Seseorang yang berwatak samirana atau angin,
maknanya adalah selalu meneliti dan menelusup di mana-mana, untuk mengetahui
problem-problem sekecil apapun yang ada di dalam masyarakat, bukan hanya atas
dasar kata orang, katanya, konon, jare, ceunah ceuk ceunah. Watak
angin mampu merasakan apa yang orang lain rasakan (empati), orang berwatak
angin akan mudah simpati dan melakukan empati. Watak angin sangat teliti dan
hati-hati, penuh kecermatan, sehingga seorang yang berwatak angin akan
mengetahui berbagai persoalan dengan data-data yang cukup valid dan akurat.
Sehingga menjadi orang yang dapat dipercaya dan setiap ucapannya dapat
dipertanggungjawabkan.
8. Watak Api (Hambeg Agni)
Agni atau api atau dahana. Yang diambil adalah
sisi positif dari watak api yakni Bathara Brahma. Watak api adalah
mematangkan dan meleburkan segala sesuatu. Seorang yang mengambil watak api
akan mampu mengolah semua masalah dan kesulitan menjadi sebuah pelajaran yang
sangat berharga. Ia juga bersedia untuk melakukan pencerahan pada sesama yang
membutuhkan, murah hati dalam mendidik dan menularkan ilmu pengetahuan kepada
orang-orang yang haus akan ilmu. Mematangkan mental, jiwa, batin sesama yang
mengalami stagnansi atau kemandegan spiritual. Api tidak akan mau menyala tanpa
adanya bahan bakar. Maknanya seseorang tidak akan mencari-cari masalah yangbukan
kewenangannya. Dan tidak akan mencampuri urusan dan privasi orang lain yang
tidak memerlukan bantuan. Api hanya akan melebur apa saja yang menjadi bahan
bakarnya. Seseorang mampu menyelesaikan semua masalah yang menjadi
tanggungjawabnya secara adil (mrantasi ing gawe). Serta tanpa
membeda-bedakan mana yang mudah diselesaikan (golek penake dewe), dan
tidak memilih berdasarkan kasih (pilih sih) , memilih berdasarkan
kepentingan pribadinya (golek butuhe dewe).
KEDALAMAN MAKNA HASTA BRATA
Kebulatan dalam menerapkan Hasta Brata dapat
menumbuhkan sikap dan tekad bulat menetapkan diri pada kodrat Gusti Kang Akarya
Jagad serta menjauhkan diri dari segala sikap berseteru dengan Tuhan,
sebaliknya selalu eling dan wasadha, dapat menselaraskan antara ucapan dengan
perbuatan. Selalu mengutamakan sikap sabar dalam menghadapi semua kesulitan dan
penderitaan, berpendirian teguh tidak terombang-ambing oleh keadaan yang tidak
menentu, tidak bersikap gugon tuhon atau anut grubyug (taklid),
ela-elu, sikap asal–asalan. Pikiran kritis, hati yang bersih, batin yang selalu
bening tidak berprasangka buruk, serta tidak mencari-cari keburukan orang lain.
Bersikap legawa dan menerima apa adanya akan hasil akhir (qona’ah) terhadap apa
yang diperolehnya. Dengan tetap memiliki semangat juang dan selalu berusaha
tanpa kenal putus asa.
Dimilikinya watak, sifat, karakter, tabiat sebagaimana
terangkum dalam Hasta Brata yang dapat membuka “olah rasa” untuk selalu eling
mampu berkecimpung dalam pergaulan luas dan segala tatanan masyarakat. Pasrah
dengan bersandar pada kecermatan fikir dan kebersihan nalar. Untuk mengupayakan
jalan hidup agar tidak keluar dari rambu-rambu dalam mewujudkan harapan, serta
menciptakan ketenteraman, keselamatan dan kesejahteraan bersama. Demikianlah
nilai-nilai kepemimpinan yang terkandung di dalam falsafah Hasta Brata yang
menjadi pusaka pegangan Prabu Rama Wijaya dan Prabu Sri Bethara Kresna sewaktu jumeneng
raja di tlatah Ayodya Pala. Yang diwejangkan juga kepada Raden Arjuna.
Ada tiga nilai terpenting yang dapat dijadikan benang
merah :
Pertama; pola kepeminpinan Prabu Rama Wijaya
dan Prabu Sri Bathara Kresna yang menjadi nilai-nilai luhur dan patut menjadi
teladan bagi siapapun yang menjadi pemimpin bangsa ini. Beliau berdua mampu
memimpin negara dengan adil dan bijaksana, sehingga nama keduanya sangat harum
di mata rakyatnya.
Kedua; walaupun bertemakan kepemimpinan, namun nilai-nilai luhur yang terkandung
di dalamnya dapat menjadi teladan siapapun, sekalipun bukan pimpinan negara,
karena setiap manusia minimal menjadi pemimpin atas dirinya sendiri. Bila
seseorang mampu menghayati dan mengamalkan pusaka Hasta Brata pastilah akan
menemukan keharmonisan dalam kehidupan dan pergaulan masyarakat.
Ketiga; bila kita meneladani kedelapan bagian dari jagad raya tersebut berarti
kita memasuki wilayah spiritual yang bernilai religiusitas tinggi. Membaca
tanda-tanda alam sama halnya memahami kegungan Tuhan. Ibarat membaca ayat-ayat
Tuhan yang tersirat dalam bahasa kebijaksanaan kodrat alam. Umpama kalimat
tanpa tulisan, papan tulis tanpa ada tulisan. Dapat juga dipersonifikasikan
sebagai “tapaking kuntul anglayang”.
MAKNA TAK TERTULIS
Alam semesta beserta seluruh tanda-tandanya sebenarnya
merupakan ayat yang tersirat. Jika mau jujur, lihat dan cermatilah
kebijaksanaan yang tampak dalam bahasa alam tiada nilai yang bertentangan atau
bersinggungan dengan ayat kitab suci manapun. Ini cukup membuktikan bahwa ilmu
Tuhan teramat luas tiada batasnya.
Jika anda ingin melihat BUKTI (bukan sekedar tulisan)
kebesaran Tuhan, maka lihatlah tanda-tanda menakjubkan yang terdapat dalam
ruang-ruang jagad raya. Pergilah ke gunung, ke pantai, pandangi sunrise dan
sunset, gelombang laut, resapilah saat hujan dan badai menerpa, guntur dan
kilat menyambar, semua merupakan kalimat akan kebesaran Tuhan. Sekali lagi,
makna yang tersimpan dalam kalimat tanpa tulis dan kata-kata. Kalimat yang
tidak dibatasi oleh bahasa, suku, dan bangsa tertentu. Kata-kata dan huruf yang
tidak terkungkung oleh adat istiadat, tradisi, dan ajaran tertentu.
Istilah yang tidak tergantung oleh ilmuwan tertentu. Karena hakekatnya
adalah kalimat universal, diperuntukkan untuk segala yang hidup, tidak terbatas
manusia, namun binatang dan makhluk gaib semuanya. Tidak terbatas hanya untuk
pemimpin, kepala suku, rakyat jelata, bangsawan, orang-orang sudra. Itulah
bukti nyata kebesaran Tuhan Yang maha Tunggal, Yang lebih dari Maha Besar.
Tuhan yang lebih dari Maha Adil dan Bijaksana. Sayang sekali, manusia
sering bertengkar gara-gara tak mampu menangkap anugrah perbedaan.
Haruskah manusia dikudeta oleh binatang ? Ataukah
manusia harus berguru kepada makhluk hidup lainnya, kepada binatang melata,
kepada burung, gajah, atau bahkan kepada makhluk gaib. Karena mereka tidak
pernah tercemar oleh polusi nafsu diniawi seperti manusia, sehingga mereka
masih memiliki ketajaman instink dalam menangkap bahasa dan kalimat Tuhan.
Mengerti bilamana akan terjadi bencana dan musibah alam. Jujur saja kami sering
dipaksa harus berguru kepada mereka. Dan saya tidak terlalu berani
menyombongkan diri sebagai makhluk paling sempurna di antara semua makhluk
Tuhan, hanya gara-gara memiliki akal-budi. Bukankah kita dapat menjadi hina,
lebih hina daripada binatang paling hina sekalipun, hanya karena salah kelola
akal-budi kita.
BERGURU PADA ORANG BODOH
Orang-orang zaman dulu seringkali dianggap orang
bodoh, cubluk, kekolotan, tidak canggih, tradisionil, serta udik. Penilaian
subyektif hanya berdasarkan penglihatan mata wadag dan hanya bersadarkan dari
omongan ke omongan orang yang sama-sama tidak menilai secara subyektif. Asumsi
di atas merupakan hak setiap orang melakukan penilaian. Namun perlu lebih
hati-hati dalam melakukan penilaian, sebab jika yang salah kaprah akan menjadi
sia-sia bahkan merugikan diri sendiri. Pada saat banyak orang ramai-ramai memberikan
asumsi negatif akan tradisi kuno, saat itu pula kami mencoba berfikir positif,
dan bertanya-tanya mengapa penilaian negatif itu muncul. Bagaimana seandainya
saya ada di pihak yang dinilai negatif.
Leluhur bangsa di masa lalu sejak 2500 tahun SM telah
melakukan kegiatan spiritual. Perjalanan spiritualnya semakin berkembang
seiring perjalanan waktu ke waktu. Pada intinya, leluhur masa lalu sangat
menganjurkan agar manusia mengamati tanda-tanda kebesaran Tuhan dengan
mencermati alam semesta. Hal ini menimbulkan apa yang disebut sebagai “ngelmu
titen”. Ilmu untuk mencermati segenap tanda-tanda alam sebagai wujud
bahasa dan kalimat Tuhan yang tak tertulis. Ngelmu titen diperoleh setelah
seseorang rajin mencermati dan membaca tanda-tanda alam. Dengan melakukan
semadi di gunung, laut, tempat-tempat sepi. Bukan saja mata wadag yang akan
menyaksikan keagungan Tuhan, lebih dari itu, mata batin akan turut menjadi
saksi kebesaran Tuhan yang lebih dahsyat lagi, setelah merasakan getaran energi
alam, atau daya magis (metafisik) di balik semua unsur-unsur bumi dalam Hasta
Brata.
Singkat kata, dengan melakukan perenungan-perenungan, semedi, penghayatan
di tempat-tempat tertentu, yang sunyi, indah dan menakjubkan akhirnya dapat
menggugah getaran jiwa, dengan membuka kesadaran batin kita sehingga dapat
menciptakan harmonisasi atau sinergi antara energi yang ada dalam “jagad kecil”
(diri manusia) dengan “jagad besar” (alam semesta). Bila keselarasan
tersebut telah tercipta maka akan membuka pemahaman akan “jati diri Tuhan”,
sehingga muncul daya kekuatan “gaib” yang mendorong kita untuk semakin dekat
kepada Tuhan. Berkaitan dengan ilmu Hasta Brata, manusia Jawa masa lampau,
memiliki ilmu kepemimpinan yang secara kualitas lebih baik dan lebih canggih
daripada pemimpin zaman modern saat ini. Dalam artian kemampuannya untuk
merumuskan setiap fenomena yang terjadi dan mendiagnosa setiap permasalahan
secara tepat, kemudian membuat rencana problem solving kemudian
melakukan manuver-manuver yang bersifat konkrit. Meliputi berbagai bidang
kehidupan, sosial, politik, ekonomi, hukum. Bidang-bidang kehidupan dapat
dideskripsikan secara cermat dan tepat sehingga tidak melakukan kesalahan dalam
membuat suatu kebijakan. Pemimpin zaman dulu, memperoleh legitimasi dan
kelanggengan kekuasaannya bukan saja karena alur genealogis atau faktor
keturunan, lebih penting dari itu kelanggengan kepemimpinan atas dasar sistem
kepemimpinan yang bijaksana, adil, dan benar-benar mensejahterakan rakyatnya,
sehingga kekuasaannya bertumpu pada power of law kekuasaan dengan
legitimasi hukum formal dan pengakuan dari rakyat. Lain halnya dengan
kebanyakan pola kepemimpinan zaman sekarang, yang disibukkan manuver-manuver
politik mempertahankan kekuasaan, bukan konsentrasi mensejahterakan masyarakat.
Sehingga legitimasi politiknya terbalik menjadi law of the power, ia
menciptakan “hukum” demi mempertahankan kekuasaannya. Kelemahan paling besar
pemimpin zaman sekarang adalah kurang mampu berkomunikasi dengan bahasa alam
yang mengisyaratkan pesan-pesan penting dan gaib, apa yang harus dilakukan saat
ini dan masa mendatang. Mungkinkah para pemimpin terlalu meremehkan bahasa alam
? Sementara Tuhan mengirimkan isyaratNya melalui bahasa alam itu. Maka
terjadilah deadlock, yakni kemacetan komunikasi antara manusia dengan
Tuhannya.
Follow Gue : @yoyoocetar