Rabu, 22 Januari 2014

[Romanized Lyrics] Let It Go (Korean version by SISTAR's Hyorin)




Hyolyn (Hyorin) 효린 - Let It Go (from Disney's "Frozen 겨울왕국")


Let it go
Let it go
deo isang chamji anha
Let it go
Let it go
naneun ije ddeonallae
oneulbam naerin hayan nuneun
eun sesangeul dwideopgo
i waero-um hanga-unde
na hollo namgyeo jyeotne
nae ane buneun baram
geochin pokpung dwego
jeongmal himdeun mam
haneureun algetji
mam yeolji ma, boyeojuji ma
neoreul gamchweo sumgyeo dweoya hae
geu amudo ne moseubeul
alji mothage
Let it go, let it go
deo isang chamji anha
Let it go, let it go
naneun ije ddeonallae
nan igose, yeogi igose
Let it go, let it go
waero-um ddawin sanggwan eobseo
georil dugo bomyeon
modeun ge jaga boyeo
nareul duryeobge haetdeon geot
ije geobnaji anha
chaga-un gonggideul soge
eui jineun kanghaejyeo
naega geotdeon sesang hyanghae
ije sorichil geoya
Let it go, let it go
da isang chamji anha
Let it go, let it go
naneun ije ddeonallae
nan igose, seo isseul geoya
Let it go, let it go
waero-um ddawin sanggwan eobseo
geu dong-an nae salmeun
eoreume gachyeosseotji
ijeneun dalla
eojeye naega anya
nareul chatji ma
Let it go, let it go
deo isang chamji anha
Let it go, let it go
naneun ije ddeonallae
nan igose, yeogi igose
Let it go, let it go
deo nugudo nal makjin mothae yeah woah
Let it go
Ye-yeahhh, na na
Here I’ll stay
Let it go, let it go
Ooooh
Let it go

Jumat, 08 November 2013

Mitos kidung Lingsir Wengi

Gue sering dengerin lagu "kidung lingsir wengi" Konon dengan mendengarkan lagu “kidung lingsir wengi” pas waktu-waktu tertentu, Kuntilanak akan datang menjumpai orang yang mendengarkannya……


Liriknya seperti ini :
Lingsir wengi sliramu tumeking sirno…
Ojo tangi nggonmu guling…
Awas jo ngetoro…
Aku lagi bang wingo wingo…
Jin setan kang tak utusi…
Dadyo sebarang…
Wojo lelayu sebet…

Dalam Bahasa indonesia :

Menjelang malam, dirimu akan lenyap…
Jangan bangun dari tempat tidurmu…
Awas jangan menampakkan diri…
Aku sedang dalam kemarahan besar…
Jin dan setan yang kuperintah…
Menjadi perantara…
Untuk mencabut nyawamu…

Berikut adalah kisah kejadian yang dialami oleh seorang member Kaskuser:
bbrp tahun yg lalu saya pernah mengalami kejadian begini :
Suatu malam tiba2 saya terjaga dari tidur, lalu saya melihat pintu kamar saya terbuka pelan2… keadaan saat itu samar2 karena lampu di kamar saya matikan sebelum tidur.
Tiba2 terdengar alunan lagu-lagu jawa seperti lingsir wengi, padahal saya sendiri tidak bisa berbahasa jawa, setelah itu seorang nenek memakai baju khas jawa masuk ke kamar sambil bergumam berbahasa jawa.

Spontan saya ketakutan, tetapi badan saya tidak bisa digerakkan seperti tertindih, saya terus memperhatikan nenek2 itu…, tiba2 nenek itu terdiam dan memperhatikan saya… lalu dia tertawa kecil.
Setelah itu, nenek tersebut mendekati saya yg waktu itu masih dalam posisi terlentang tidur, nenek itu terus bergumam bahasa jawa seakan2 sedang ngobrol. Saat nenek itu berdiri di dekat kaki saya, dia jongkok kecil dan menyentuh paha saya dengan jari dia.
Saya pikir ini cuman mimpi buruk, tetapi ketika dia menyentuh paha saya… sangat terasa nyata…, saya pun memaksakan diri untuk berontak dan berhasil bangun sambil mengepal tangan saya dan memukul nenek itu, tetapi malah angin yg saya pukul. nenek itu tiba2 lenyap.
keringat saya mengucur… dan napas saya tersengal2…
Nah setelah mendengar lagu lingsir wengi, saya menjadi teringat kembali kejadian itu.
Sebenernya apa sih Lagu ‘kidung lingsir wengi’? Sebelum saya membahas lebih lanjut tentang lagu ini, sebaiknya Anda dengarkan dulu lagu tersebut sampai habis, sebelum melangkah kebacaan selanjutnya, lagunya bisa anda download disini.
Sudah dengar kan lagunya? Mari kita lanjutkan bacaan ini, dan ini sedikit berita dari Prambors :
lagu ini menjadi bahan omongan di Prambors, ada beberapa wadyabala yang merasa “digoda” disaat tertidur setelah mendengar lagu ini…Panda dan Utha bahkan gak mau denger lagu ini ampe abisss.. hehe gosipnya lagu ini bisa memanggil mahluk yang kasat mata…
tapi jangan mudah percaya namanya juga gosipp!
hehehe,
Benarkah demikian ?

Ternyata Kidung ini Plesetan dari Aslinya yang diciptakan Sunan Kalijaga, berikut bantahan lagu tersebut seperti yang dilansir blog tidakmenarik.wordpress.com. :
Sangat sangat disayangkan, bila ada yang menganggap kidung rumekso ing wengi adalah lagu/kidungnya mbakyu kunti…

Padahal kanjeng sunan kalijogo menciptakan/membuat kidung itu untuk ‘unen2′ yang dalam masyarakat jawa/kejawen sebagai pengganti dzikir/wirid oleh muslim jawa pada waktu dulu sehabis melakukan sholat malam.

Bila lebih dicermati kidung tersebut dikenal karena berisi mantra tolak bala,
Lagu kidung ini mengingatkan manusia agar mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga terhindar dari kutukan dan malapetaka yang lebih dahsyat. Dengan demikian kita dituntut untuk senantiasa berbakti, beriman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Sedangkan fungsi kidung secara eksplisit tersurat dalam kalimat kidung itu, yang antara lain; Penolak balak di malam hari, seperti teluh, santet, duduk, ngama, maling, penggawe ala dan semua malapetaka. Pembebas semua benda . Pemyembuh penyakit, termasuk gila. Pembebas pageblug. Pemercepat jodoh bagi perawan tua. Menang dalam perang . Memperlancar cita-cita luhur dan mulia.

Berikut arti lagu tersebut yang sebenarnya dalam bahasa Indonesia, silahkan dicermati dalam bait mana yang berhubungan dengan mbakyu kunti….

Ada kidung rumekso ing wengi(lagu yang mengalun ditengah malam). 
Yang menjadikan kuat selamat terbebas
dari semua penyakit. Terbebas dari segala petaka. 

Jin dan setanpun tidak mau. Segala jenis sihir tidak berani. Apalagi perbuatan jahat.
guna-guna tersingkir. Api menjadi air. Pencuripun menjauh dariku.
Segala bahaya akan lenyap.

Semua penyakit pulang ketempat asalnya. Semua hama menyingkir dengan pandangan kasih. Semua senjata tidak mengena. Bagaikan kapuk jatuh dibesi. Segenap racun menjadi tawar. Binatang buas menjadi jinak. Pohon ajaib, tanah angker, lubang landak, gua orang, tanah miring dan sarang merak.

Kandangnya semua badak. Meski batu dan laut mengering. Pada akhirnya semua slamat. Sebab badannya selamat dikelilingi oleh bidadari, yang dijaga oleh malaikat, dan semua rasul dalam lindungan Tuhan. Hatiku Adam dan otakku nabi Sis. Ucapanku adalah nabi Musa.
Nafasku nabi Isa yang teramat mulia. Nabi Yakup pendenganranku. Nabi Daud menjadi suaraku. Nabi Ibrahim sebagai nyawaku. Nabi sulaiman
menjadi kesaktianku. Nabi Yusuf menjadi rupaku. Nabi Idris menjadi rupaku. Ali sebagai kulitku. Abubakar darahku dan Umar dagingku. Sedangkan Usman sebagai tulangku.

Sumsumku adalah Fatimah yang amat mulia. Siti fatimah sebagai kekuatan badanku. Nanti nabi Ayub ada didalam ususku. Nabi Nuh didalam jantungku. Nabi Yunus didalam otakku. Mataku ialah Nabi Muhamad. Air mukaku rasul dalam lindungan Adam dan Hawa. Maka lengkaplah semua rasul, yang menjadi satu badan.

Nah, sudah mengertikah Anda arti dari lagu ini sesungguhnya, tidak ada yang menakutkan bukan. Sebenarnya sih lagu apa aja bisa buat memangil setan (makhluk halus) asal niatnya negatif karena sang setan sangat senang merasuki manusia yang berpikiran negatif, kita sendiri tidak bisa memungkiri bahwa ada makhluk lain di sekitar kita, namun apapun makhluk itu tidak perlu ditakuti ataupun di banggakan karena yang perlu dibanggakan dan ditakuti hanya Yang Maha Esa.

Kamis, 10 Oktober 2013

Filsafat Pewayangan



Perang Batarayudha

KURAWA

PRABU DRUPADA


PRABU DRUPADA yang waktu mudanya bernama Arya Sucitra, adalah putra Arya Dupara dari Hargajambangan, dan merupakan turunan ke tujuh dari Bathara Brahma. Arya Sucitra bersaudara sepupu dengan Bambang Kumbayana/Resi Durna dan menjadi saudara seperguruan sama-sama berguru pada Resi Baratmadya. Untuk mencari pengalaman hidup, Arya Sucitra pergi meninggalkan Hargajembangan, mengabdikan diri ke negara Astina kehadapan Prabu Pandudewanata. Arya Sucitra menekuni seluk beluk tata kenegaraan dan tata pemerintahan. Karena kepatuhan dan kebaktiannya kepada negara, oleh Prabu Pandu ia di jodohkan/dikawinkan dengan Dewi Gandawati, putri sulung Prabu Gandabayu dengan Dewi Gandarini dari negara Pancala. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh tiga orang putra masing-masing bernama; Dewi Drupadi, Dewi Srikandi dan Arya Drestadyumna. Ketika Prabu Gandabayu mangkat, dan berputra mahkota Arya Gandamana menolak menjadi raja, Arya Sucitra dinobatkan menjadi raja Pancala dengan gelar Prabu Drupada. Dalam masa kekuasaanya, Prabu Drupada berselisih dengan Resi Durna, dan separo dari wilayah negara Pancala direbut secara paksa melalui peperangan oleh Resi Durna dengan bantuan anak-anak Pandawa dan Kurawa. Di dalam perang besar Bharatayuda, Prabu Drupada tampil sebagai senapati perang Pandawa. Ia gugur melawan Resi Durna terkena panah Cundamanik.

RESI DURNA

d20_durna_yogya2
RESI DURNA yang waktu mudanya bernama Bambang Kumbayana adalah putra Resi Baratmadya dari Hargajembangan dengan Dewi Kumbini. Resi Durna mempunyai saudara seayah seibu bernama: Arya Kumbayaka dan Dewi Kumbayani. Resi Durna berwatak; tinggi hati, sombong, congkak, bengis, banyak bicaranya, tetapi kecakapan, kecerdikan, kepandaian dan kesaktiannnya luar biasa serta sangat mahir dalam siasat perang. Karena kesaktian dan kemahirannya dalam olah keprajuritan, Resi Durna dipercaya menjadi guru anak-anak Pandawa dan Kurawa. Resi Durna mempunyai pusaka sakti berwujud keris bernama Cundamanik dan panah Sangkali (diberikan kepada Arjuna). Resi Durna menikah dengan Dewi Krepi, putri Prabu Purungaji, raja negara Tempuru, dan memperoleh seorang putra bernama Bambang Aswatama. Resi Durna berhasil mendirikan padepokan Sokalima setelah berhasil merebut hampir setengah wilayah negara Pancala dari kekuasaan Prabu Drupada. Dalam peran Bharatayuda Resi Durna diangkat menjadi Senapati Agung Kurawa, setelah gugurnya Resi Bisma. Resi Durna sangat mahir dalam siasat perang dan selalu tepat menentukan gelar perang. Resi Durna gugur di medan pertempuran oleh tebasan pedang Drestajumena, putra Prabu Drupada, yang memenggal putus kepalanya. Konon kematian Resi Durna akibat dendam Prabu Ekalaya raja negara Paranggelung yang arwahnya menyatu dalam tubuh Drestajumena.

Pelajaran Berharga ;
  1. Sapa sing nggawe mesthi nganggo”, siapa menanam mengetam ngundhuh wohing pakarti”. Perbuatan jahat pada orang lain akan menjadi bumerang, kembali membuat malapetaka pada diri sendiri. Tampaknya nukilan dari falsafah hidup Kejawen ini merupakan rumus alam (baca; kodrat alam/kodrat Tuhan). Bagaimanapun Durna sudah pernah merebut separoh wilayah kekuasaan dan membunuh Prabu Drupada. Maka kematian Resi Durna berada di tangan sang Drestajumena yakni putra Prabu Drupada sendiri.   Sebenarnya Drestajumena secara kalkulasi tidak akan mungkin mengalahkan Resi Durna, karena kesaktiannya belum ada apa-apanya jika dibanding Resi Durna. Namun Hyang Widhi telah memenuhi rumus “sapa nggawe nganggo dan ngunduh wohing pakarti” apapun jalannya Resi Durna mati di tangan Drestajumena setelah tubuhnya dirasuki roh Prabu Ekalaya. Sudah menjadi kodrat alam, malapetaka (wohing pakarti) datang menimpa diri sendiri, tidak mesti dari pihak korban atau orang yang dijahati, namun bisa datang dari pihak lainnya lagi. 
  2. Resi Durna sebagai figur yang memiliki watak dualisme, atau berkepribadian ganda. Di satu sisi ia membuat huru-hara, di sisi lain mendidik para kesatria Pandawa dari tlatah kebenaran. Namun ia akhirnya mati “ngunduh wohing pakarti” alias karena ulahnya sendiri.
  3. Ilmu ibarat pisau bermata dua, dapat dimanfaatkan untuk kebaikan maupun kejahatan tergantung manusianya.
  4. Resi Durna dengan Prabu Drupada adalah saudara sepupu yang dahulu bernaung dalam satu perguruan, namun Prabu Drupada memanfaatkan ilmunya untuk kebaikan (amr ma’ruf nahi mungkar) sementara Resi Durna lebih banyak memanfaatkannya untuk keburukan dan membela kekuatan jahat.
  5. Dalam peperangan fisik semisal Perang Bharata Yudha, dalam konteks riil ambil contoh antara Yahudi dan Palestina, merupakan perang saudara yang memperebutkan wilayah atau daerah kekuasaan sebagaimana dalam cerita perang Baratayudha antara senopati perang Drupada melawan senopati perang Durna.
  6. Sebagai peringatan kepada umat manusia untuk berhati-hati terhadap 3 macam nafsu negatif paling berbahaya yang dapat menghancurkan hubungan tali persaudaraan baik dalam hubungan internal keluarga, pertemanan atau pergaulan,  berbangsa dan bernegara yakni ;  nafsu cari benarnya sendiri, nafsu keinginan berkuasa, dan nafsu penguasaan harta (warisan). Terutama terhadap orang-orang terdekat masih saudara sendiri. Jika terjadi perang (saudara) akan menjadi perang yang sangat keji dan kejam. Terlebih lagi perang tersebut diwarnai dalih membela kebenaran, antara kekuatan “putih” dan “hitam. Akibatnya adalah kehancuran dahsyat. Semoga contoh di atas dapat meningkatkan kesadaran kita semua, untuk tetap bersatu dalam tali rasa yang satu, satu kebangsaan, satu bumi pertiwi, satu bahasa. Sehingga bangsa ini terhindar dari kehancuran, sebaliknya meraih kejayaannya kembali. Kita dapat mengambil contoh peristiwa holocaus, etnis cleansing, pembantaian massal di Kamboja, peristiwa G 30 S, Yahudi-Palestina.

PANDAWA LIMA
 1. PRABU YUDHISTIRA
yudhistira
PRABU YUDHISTIRA menurut cerita pedalangan Jawa adalah raja jin negara Mertani, sebuah Kerajaan Siluman yang dalam penglihatan mata biasa merupakan hutan belantara yang sangat angker. Prabu Yudhistira mempunyai dua saudara kandung masing-masing bernama ;Arya Danduwacana, yang menguasai kesatrian Jodipati dan Arya Dananjaya yang menguasai kesatrian Madukara. Prabu Yudhistira juga mempunyai dua saudara kembar lain ibu, yaitu ; Ditya Sapujagad bertempat tinggal di kesatrian Sawojajar, dan Ditya Sapulebu di kesatrian Baweratalun.Prabu Yudhistira menikah dengan Dewi Rahina, putri Prabu Kumbala, raja jin negara Madukara dengan permaisuri Dewi Sumirat. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh seorang putri bernama Dewi Ratri, yang kemudian menjadi istri Arjuna.Ketika hutan Mertani berhasil ditaklukan keluarga Pandawa berkat daya kesaktian minyak Jayengkaton milik Arjuna pemberian Bagawan Wilwuk/Wilawuk, naga bersayap dari pertapaan Pringcendani. Prabu Yudhistira kemudian menyerahkan seluruh negara beserta istrinya kepada Puntadewa, sulung Pandawa, putra Prabu Pandu dengan Dewi Kunti. Prabu Yudhistira kemudian menjelma atau menyatu dalam tubuh Puntadewa, hingga Puntadewa bergelar Prabu Yudhistira. Prabu Yudhistira darahnya berwarna putih melambangkan kesuciannya.
 2. BIMA atau WERKUDARA
b37_bima_indhu_solo1
Dikenal pula dengan nama; Balawa, Bratasena, Birawa, Dandunwacana, Nagata, Kusumayuda, Kowara, Kusumadilaga, Pandusiwi, Bayusuta, Sena, atau Wijasena. Bima putra kedua Prabu Pandu, raja Negara Astina dengan Dewi Kunti, putri Prabu Basukunti dengan Dewi Dayita dari negara Mandura. Bima mempunyai dua orang saudara kandung bernama: Puntadewa dan Arjuna, serta 2 orang saudara lain ibu, yaitu ; Nakula dan Sadewa. Bima memililki sifat dan perwatakan; gagah berani, teguh, kuat, tabah, patuh dan jujur. Bima memiliki keistimewaan ahli bermain ganda dan memiliki berbagai senjata antara lain; Kuku Pancanaka, Gada Rujakpala, Alugara, Bargawa (kapak besar) dan Bargawasta, sedangkan ajian yang dimiliki adalah ; Aji Bandungbandawasa, Aji Ketuklindu dan Aji Blabakpangantol-antol. Bima juga memiliki pakaian yang melambangkan kebesaran yaitu; Gelung Pudaksategal, Pupuk Jarot Asem, Sumping Surengpati, Kelatbahu Candrakirana, ikat pinggang Nagabanda dan Celana Cinde Udaraga. Sedangkan beberapa anugerah Dewata yang diterimanya antara lain; Kampuh atau kain Poleng Bintuluaji, Gelang Candrakirana, Kalung Nagasasra, Sumping Surengpati dan pupuk Pudak Jarot Asem. Bima tinggal di kadipaten Jodipati, wilayah negara Amarta. Bima mempunyai tiga orang isteri dan 3 orang anak, yaitu :
1. Dewi Nagagini, berputra Arya Anantareja,
2. Dewi Arimbi, berputra Raden Gatotkaca dan
3. Dewi Urangayu, berputra Arya Anantasena.
Akhir riwayat Bima diceritakan, mati sempurna (moksa) bersama ke empat saudaranya setelah akhir perang Bharatayuda.
3. ARJUNA
arjuna
Adalah putra Prabu Pandudewanata, raja negara Astinapura dengan Dewi Kunti/Dewi Prita  putri Prabu Basukunti, raja negara Mandura. Arjuna merupakan anak ke-tiga dari lima bersaudara satu ayah, yang dikenal dengan nama Pandawa. Dua saudara satu ibu adalah Puntadewa dan Bima/Werkudara.
Sedangkan dua saudara lain ibu, putra Pandu dengan Dewi Madrim adalah Nakula dan Sadewa. Arjuna seorang satria yang gemar berkelana, bertapa dan berguru menuntut ilmu. Selain menjadi murid Resi Drona di Padepokan Sukalima, ia juga menjadi murid Resi Padmanaba dari Pertapaan Untarayana. Arjuna pernah menjadi Pandita di Goa Mintaraga, bergelar Bagawan Ciptaning. Arjuna dijadikan jago kadewatan membinasakan Prabu Niwatakawaca, raja raksasa dari negara Manimantaka. Atas jasanya itu, Arjuna dinobatkan sebagai raja di Kahyangan Kaindran bergelar Prabu Karitin dan mendapat anugrah pusaka-pusaka sakti dari para dewa, antara lain ; Gendewa ( dari Bathara Indra ), Panah Ardadadali ( dari Bathara Kuwera ), Panah Cundamanik ( dari Bathara Narada ). Arjuna juga memiliki pusaka-pusaka sakti lainnya, atara lain ; Keris Kiai Kalanadah, Panah Sangkali ( dari Resi Durna ), Panah Candranila, Panah Sirsha, Keris Kiai Sarotama, Keris Kiai Baruna, Keris Pulanggeni ( diberikan pada Abimanyu ), Terompet Dewanata, Cupu berisi minyak Jayengkaton ( pemberian Bagawan Wilawuk dari pertapaan Pringcendani ) dan Kuda Ciptawilaha dengan Cambuk Kiai Pamuk. Sedangkan ajian yang dimiliki Arjuna antara lain: Panglimunan, Tunggengmaya, Sepiangin, Mayabumi, Pengasih dan Asmaragama.  Arjuna mempunyai 15 orang istri dan 14 orang anak. Adapun istri dan anak-anaknya adalah :
  1. Dewi Sumbadra , berputra Raden Abimanyu.
  2. Dewi Larasati , berputra Raden Sumitra dan Bratalaras.
  3. Dewi Srikandi
  4. Dewi Ulupi/Palupi , berputra Bambang Irawan
  5. Dewi Jimambang , berputra Kumaladewa dan Kumalasakti
  6. Dewi Ratri , berputra Bambang Wijanarka
  7. Dewi Dresanala , berputra Raden Wisanggeni
  8. Dewi Wilutama , berputra Bambang Wilugangga
  9. Dewi Manuhara , berputra Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati
10. Dewi Supraba , berputra Raden Prabakusuma
11. Dewi Antakawulan , berputra Bambang Antakadewa
12. Dewi Maeswara
13. Dewi Retno Kasimpar
14. Dewi Juwitaningrat , berputra Bambang Sumbada
15. Dewi Dyah Sarimaya.
Arjuna juga memiliki pakaian yang melambangkan kebesaran, yaitu ; Kampuh/Kain Limarsawo, Ikat Pinggang Limarkatanggi, Gelung Minangkara, Kalung Candrakanta dan Cincin Mustika Ampal (dahulunya milik Prabu Ekalaya, raja negara Paranggelung).
Arjuna juga banyak memiliki nama dan nama julukan, antara lain ; Parta (pahlawan perang), Janaka (memiliki banyak istri), Pemadi (tampan), Dananjaya, Kumbaljali, Ciptaning Mintaraga (pendeta suci), Pandusiwi, Indratanaya (putra Bathara Indra), Jahnawi (gesit trengginas), Palguna, Danasmara ( perayu ulung ) dan Margana ( suka menolong ).
Arjuna memiliki sifat perwatakan ; Cerdik pandai, pendiam, teliti, sopan-santun, berani dan suka melindungi yang lemah.
Arjunaa memimpin Kadipaten Madukara, dalam wilayah negara Amarta. Setelah perang Bhatarayuda, Arjuna menjadi raja di Negara Banakeling, bekas kerajaan Jayadrata.
Akhir riwayat Arjuna diceritakan, ia muksa ( mati sempurna ) bersama ke-empat saudaranya yang lain. 
4. NAKULA
nakula
Nang dalam pedalangan Jawa disebut pula dengan nama Pinten (nama tumbuh-tumbuhan yang daunnya dapat dipergunakan sebagai obat) adalah putra ke-empat Prabu Pandudewanata, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Madrim, putri Prabu Mandrapati dengan Dewi Tejawati, dari negara Mandaraka. Nakula lahir kembar bersama adiknya, Sahadewa atau Sadewa (pedalangan Jawa), Nakula juga menpunyai tiga saudara satu ayah, putra Prabu Pandu dengan Dewi Kunti, dari negara Mandura bernama; Puntadewa, Bima/Werkundara dan Arjuna. Nakula adalah titisan Bathara Aswi, Dewa Tabib. Nakula mahir menunggang kuda dan pandai mempergunakan senjata panah dan lembing. Nakula tidak akan dapat lupa tentang segala hal yang diketahui karena ia mepunyai Aji Pranawajati pemberian Ditya Sapujagad, Senapati negara Mretani. Nakula juga mempunyai cupu berisi, “Banyu Panguripan atau Air kehidupan” (tirtamaya) pemberian Bhatara Indra. Nakula mempunyai watak jujur, setia, taat, belas kasih, tahu membalas guna dan dapat menyimpan rahasia. Nakula tinggal di kesatrian Sawojajar, wilayah negara Amarta. Nakula mempunyai dua orang isteri yaitu:
1. Dewi Sayati putri Prabu Kridakirata, raja negara Awuawulangit, dan
    memperoleh dua orang putra masing-masing bernama; Bambang
    Pramusinta dan Dewi Pramuwati.
2. Dewi Srengganawati, putri Resi Badawanganala, kura-kura raksasa
    yang tinggal di sungai/narmada Wailu (menurut Purwacarita,
    Badawanangala dikenal sebagai raja negara Gisiksamodra/Ekapratala)
    dan memperoleh seorang putri bernama Dewi Sritanjung.
Dari perkawinan itu Nakula mendapat anugrah cupu pusaka berisi air kehidupan bernama Tirtamanik. Setelah selesai perang Bharatyuda, Nakula diangkat menjadi raja negara Mandaraka sesuai amanat Prabu Salya kakak ibunya, Dewi Madrim. Akhir riwayatnya diceritakan, Nakula mati moksa bersama keempat saudaranya.
5. SADEWA atau Sahadewa
sadewa
Dalam pedalangan Jawa disebut pula dengan nama Tangsen (buah dari tumbuh-tumbuhan yang daunnya dapat dipergunakan dan dipakai untuk obat) adalah putra ke-lima atau bungsu Prabu Pandudewanata, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Madrim, putri Prabu Mandrapati dengan Dewi Tejawati dari negara Mandaraka. Ia lahir kembar bersama kakanya, Nakula. Sadewa juga mempunyai tiga orang saudara satu ayah, putra Prabu Pandu dengan Dewi Kunti, dari negara Mandura, bernama; Puntadewa, Bima/Werkundara dan Arjuna. Sadewa adalah titisan Bathara Aswin, Dewa Tabib. Sadewa sangat mahir dalam ilmu kasidan (Jawa)/seorang mistikus. Mahir menunggang kuda dan mahir menggunakan senjata panah dan lembing. Selain sangat sakti, Sadewa juga memiliki Aji Purnamajati pemberian Ditya Sapulebu, Senapati negara Mretani yang berkhasiat; dapat mengerti dan mengingat dengan jelas pada semua peristiwa. Sadewa mempunyai watak jujur, setia, taat, belas kasih, tahu membalas guna dan dapat menyimpan rahasia. Sadewa tinggal di kesatrian Bawenatalun/Bumiretawu, wilayah negara Amarta. Sadewa menikah dengan Dewi Srengginiwati, adik Dewi Srengganawati (Isteri Nakula), putri Resi Badawanganala, kura-kura raksasa yang tinggal di sungai/narmada Wailu (menurut Purwacarita, Badawanangala dikenal sebagai raja negara Gisiksamodra/Ekapratala). Dari perkawinan tersebut ia memperoleh seorang putra bernama Bambang Widapaksa/ Sidapaksa). Setelah selesai perang Bharatayuda, Sedewa menjadi patih negara Astina mendampingi Prabu Kalimataya/Prabu Yudhistrira. Akhir riwayatnya di ceritakan, Sahadewa mati moksa bersama ke empat saudaranya.


KEPEMIMPINAN PUNAKAWAN : Semar-Gareng-Petruk-Bagong
CONTOH LEADERSHIP PUNAKAWAN
ABDI KINASIH KESATRIA PENDHAWA LIMA
KI LURAH SEMAR BADRANAYA, NALA GARENG,
PETRUK KANTHONG BOLONG DAN KI LURAH BAGONG
Tanggap ing sasmita dan Limpat Pasang ing Grahita, dan Cakra-Manggilingan
“Pinangka mrih hamemayu hayuning bawana
Puna” atau “pana” dalam terminologi Jawa artinya memahami, terang, jelas, cermat, mengerti, cerdik dalam mencermati atau mengamati makna hakekat di balik kejadian-peristiwa alam dan kejadian dalam kehidupan manusia. Sedangkan kawan berarti pula pamong atau teman. Jadi punakawan mempunyai makna yang menggambarkan seseorang yang menjadi teman, yang mempunyai kemampuan mencermati, menganalisa, dan mencerna segala fenomena dan kejadian alam serta peristiwa dalam kehidupan manusia.  Punakawan dapat pula diartikan seorang pengasuh, pembimbing yang memiliki kecerdasan fikir, ketajaman batin, kecerdikan akal-budi, wawasannya luas, sikapnya bijaksana, dan arif dalam segala ilmu pengetahuan. Ucapannya dapat dipercaya, antara perkataan dan tindakannya sama, tidaklah bertentangan. Khasanah budaya Jawa menyebutnya sebagai “tanggap ing sasmita, lan limpat pasang ing grahita”. Dalam istilah pewayangan terdapat makna sinonim dengan apa yang disebut wulucumbu yakni rambut yang tumbuh pada jempol kaki. Keseluruhan gambaran karakter pribadi Ki Lurah Semar tersebut berguna dalam upaya melestarikan alam semesta, dan menciptakan kemakmuran serta kesejahteraan di bumi pertiwi.
Dalam cerita pewayangan Jawa, punakawan tersebut dibagi menjadi dua kelompok yang masing-masing memiliki peranan yang sama sebagai penasehat spiritual dan politik, namun masing-masing mengasuh tokoh yang karakternya saling kontradiksi.
Kelompok Ki Lurah Semar Badranaya
Kelompok ini terdiri Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong (Sunda: Cepot). Mereka menggambarkan kelompok punakawan yang jujur, sederhana, tulus, berbuat sesuatu tanpa pamrih, tetapi memiliki pengetahuan yang sangat luas, cerdik, dan mata batinnya sangat tajam. Ki Lurah Semar, khususnya, memiliki hati yang “nyegoro” atau seluas samudra serta kewaskitaan dan kapramanan-nya sedalam samudra. Hanya satria sejati yang akan menjadi asuhan Ki Lurah Semar. Semar hakekatnya sebagai manusia setengah dewa, yang bertugas mengemban/momong para kesatria sejati.
Ki Lurah Semar disebut pula Begawan Ismaya atau Hyang Ismaya, karena eksistensinya yang teramat misterius sebagai putra Sang Hyang Tunggal umpama dewa mangejawantah. Sedangkan julukan Ismaya artinya tidak wujud secara wadag/fisik, tetapi yang ada dalam keadaan samar/semar. Dalam uthak-athik-gathuk secara Jawa, Ki Semar dapat diartikan guru sejati (sukma sejati), yang ada dalam jati diri kita. Guru sejati merupakan hakekat Zat tertinggi yang terdapat dalam badan kita. Maka bukanlah hal yang muskil bila hakekat guru sejati yang disimbolkan dalam wujud Ki Lurah Semar, memiliki kemampuan sabda pendita ratu, ludahnya adalah ludah api (idu geni). Apa yang diucap guru sejati menjadi sangat bertuah, karena ucapannya adalah kehendak Tuhan. Para kesatria yang diasuh oleh Ki Lurah Semar sangat beruntung karena negaranya akan menjadi adil makmur, gamah ripah, murah sandang pangan, tenteram, selalu terhindar dari musibah.
Tugas punakawan dimulai sejak kepemimpinan Prabu Herjuna Sasrabahu di negeri Maespati, Prabu Ramawijaya di negeri Pancawati, Raden Sakutrem satria Plasajenar, Raden Arjuna Wiwaha satria dari Madukara, Raden Abimanyu satria dari Plangkawati, dan Prabu Parikesit di negeri Ngastina. Ki Lurah Semar selalu dituakan dan dipanggil sebagai kakang, karena dituakan dalam arti kiasan yakni ilmu spiritualnya sangat tinggi, sakti mandraguna, berpengalaman luas dalam menghadapi pahit getirnya kehidupan. Bahkan para Dewa pun memanggilnya dengan sebutan “kakang”.
Kelompok punakawan ini bertugas :
  1. Menemani (mengabdi) para bendhara (bos) nya yang memiliki karakter luhur budi pekertinya. Tugas punakawan adalah sebagai “pembantu” atau abdi sekaligus “pembimbing”. Tugasnya berlangsung dari masa ke masa.
  2. Dalam cerita pewayangan, kelompok ini lebih sebagai penasehat spiritual, pamomong, kadang berperan pula sebagai teman bercengkerama, penghibur di kala susah.
  3. Dalam percengkeramaannya yang bergaya guyon parikena atau saran, usulan dan kritikan melalui cara-cara yang halus, dikemas dalam bentuk kejenakaan kata dan kalimat. Namun di dalamnya selalu terkandung makna yang tersirat berbagai saran dan usulan, dan sebagai pepeling akan sikap selalu eling dan waspadha yang harus dijalankan secara teguh oleh bendharanya yang jumeneng sebagai kesatria besar.
  4. Pada kesempatan tertentu punakawan dapat berperan sebagai penghibur selagi sang bendhara mengalami kesedihan.
  5. Pada intinya, Ki Lurah Semar dkk bertugas untuk mengajak para kesatria asuhannya untuk selalu melakukan kebaikan atau kareping rahsa (nafsu al mutmainah). Dalam terminologi Islam barangkali sepadan dengan istilah amr ma’ruf.
Adapun watak kesatria adalah: halus, luhur budi pekerti, sabar, tulus, gemar menolong, siaga dan waspada, serta bijaksana.
Kelompok Ki Lurah Togog
Kelompok ini terdiri tiga personil yakni: Ki Lurah Togog (Sarawita) dan Mbilung. Punakawan ini bertugas menemani bendhara-nya yang berkarakter dur angkara yakni para Ratu Sabrang. Sebut saja misalnya Prabu Baladewa di negeri Mandura, Prabu Basukarna di negeri Ngawangga, Prabu Dasamuka (Rahwana) di negeri Ngalengka, Prabu Niwatakawaca di negeri Iman-Imantaka dan beberapa kesatria dari negara Sabrangan yang berujud (berkarakter) raksasa; pemarah, bodoh, namun setia dalam prinsip. Lurah Togog disebut pula Lurah Tejamantri. Ki Togog dkk secara garis besar bertugas mencegah asuhannya yang dur angkara, untuk selalu eling dan waspadha, meninggalkan segala sifat buruk, dan semua nafsu negatif.  Beberapa tugas mereka antara lain:
1. Mereka bersuara lantang untuk selalu memberikan koreksi, kritikan dan saran secara kontinyu kepada bendhara-nya.
2. Memberikan pepeling kepada bendhara-nya agar selalu eling dan waspadha jangan menuruti kehendak nafsu jasadnya (rahsaning karep).
Gambaran tersebut sesungguhnya memproyeksikan pula karakter dalam diri manusia (jagad alit). Sebagaimana digambarkan bahwa kedua kesatria di atas memiliki karakter yang berbeda dan saling kontradiktori. Maknanya, dalam jagad kecil (jati diri manusia) terdapat dua sifat yang melekat, yakni di satu sisi sifat-sifat kebaikan yang memancar dari dalam cahyo sejati (nurulah) merasuk ke dalam sukma sejati (ruhulah). Dan di sisi lain terdapat sifat-sifat buruk yang berada di dalam jasad atau ragawi. Kesatria yang berkarakter baik diwakili oleh kelompok Pendawa Lima beserta para leluhurnya. Sedangkan kesatria yang berkarakter buruk diwakili oleh kelompok Kurawa 100. walaupun keduanya masing-masing sudah memiliki penasehat punakawan, namun tetap saja terjadi peperangan di antara dua kelompok kesatria tersebut. Hal itu menggambarkan betapa berat pergolakan yang terjadi dalam jagad alit manusia, antara nafsu negatif dengan nafsu positif. Sehingga dalam cerita pewayangan digambarkan dengan perang Brontoyudho antara kesatria momongan Ki Lurah Semar dengan kesatria momongan Ki Togog. Antara Pendawa melawan Kurawa 100. Antara nafsu positif melawan nafsu negatif. Medan perang dilakukan di tengah Padhang Kurusetra, yang tidak lain menggambarkan hati manusia.
1. Ki Lurah Semar (simbol ketentraman dan keselamatan hidup)
Membahas Semar tentunya akan panjang lebar seperti tak ada titik akhirnya. Semar sebagai simbol bapa manusia Jawa. Bahkan dalam kitab jangka Jayabaya, Semar digunakan untuk menunjuk penasehat Raja-raja di tanah Jawa yang telah hidup lebih dari 2500 tahun. Dalam hal ini Ki Lurah Semar tiada lain adalah Ki Sabdapalon dan Ki Nayagenggong, dua saudara kembar penasehat spiritual Raja-raja. Sosoknya sangat misterius, seolah antara nyata dan tidak nyata, tapi jika melihat tanda-tandanya orang yang menyangkal akan menjadi ragu. Ki Lurah Semar dalam konteks Sabdapalon dan Nayagenggong merupakan bapa atau Dahyang-nya manusia Jawa. Menurut jangka Jayabaya kelak saudara kembar tersebut akan hadir kembali setelah 500 tahun sejak jatuhnya Majapahit untuk memberi pelajaran kepada momongannya manusia Jawa (nusantara). Jika dihitung kedatangannya kembali, yakni berkisar antara tahun 2005 hingga 2011. Maka bagi para satria momongannya Ki Lurah Semar ibarat menjadi jimat; mung siji tur dirumat.  Selain menjadi penasehat, punakawan akan menjadi penolong dan juru selamat/pelindung tatkala para satria momongannya dalam keadaan bahaya.
Dalam cerita pewayangan Ki Lurah Semar jumeneng sebagai seorang Begawan, namun ia sekaligus sebagai simbol rakyat jelata. Maka Ki Lurah Semar juga dijuluki manusia setengah dewa. Dalam perspektif spiritual, Ki Lurah Semar mewakili watak yang sederhana, tenang, rendah hati, tulus, tidak munafik, tidak pernah terlalu sedih dan tidak pernah tertawa terlalu riang. Keadaan mentalnya sangat matang, tidak kagetan dan tidak gumunan. Ki Lurah Semar bagaikan air tenang yang menghanyutkan, di balik ketenangan sikapnya tersimpan kejeniusan,  ketajaman batin,  kaya pengalaman hidup dan ilmu pengetahuan. Ki Lurah Semar menggambarkan figur yang sabar, tulus, pengasih, pemelihara kebaikan, penjaga kebenaran dan menghindari perbuatan dur-angkara. Ki Lurah Semar juga dijuluki Badranaya, artinya badra adalah rembulan, naya wajah. Atau Nayantaka, naya adalah wajah, taka : pucat. Keduanya berarti menyimbolkan bahwa Semar memiliki watak rembulan (lihat thread: Pusaka Hasta Brata). Dan seorang figur yang memiliki wajah pucat, artinya Semar tidak mengumbar hawa nafsu. Semareka den prayitna: semare artinya menidurkan diri, agar supaya batinnya selalu awas. Maka yang ditidurkan adalah panca inderanya dari gejolak api atau nafsu negatif. Inilah nilai di balik kalimat wani mati sajroning urip (berani mati di dalam hidup). Perbuatannya selalu netepi kodrat Hyang Widhi (pasrah), dengan cara mematikan hawa nafsu negatif. Sikap demikian akan diartikulasikan ke dalam sikap watak wantun kita sehari-hari dalam pergaulan, “pucat’ dingin tidak mudah emosi, tenang dan berwibawa, tidak gusar dan gentar jika dicaci-maki, tidak lupa diri jika dipuji, sebagaimana watak Badranaya atau wajah rembulan.
Dalam khasanah spiritual Jawa, khususnya mengenai konsep manunggaling kawula Gusti, Ki Lurah Semar dapat menjadi personifikasi hakekat guru sejati setiap manusia. Semar adalah samar-samar, sebagai perlambang guru sejati atau sukma sejati wujudnya samar bukan wujud nyata atau wadag, dan tak kasad mata. Sedangkan Pendawa Lima adalah personifikasi jasad/badan yang di dalamnya terdapat panca indera. Karena sifat jasad/badan cenderung lengah dan lemah, maka sebaik apapun jasad seorang satria, tetap saja harus diasuh dan diawasi oleh sang guru sejati agar senantiasa eling dan waspadha. Agar supaya jasad/badan memiliki keteguhan pada ajaran kebaikan sang guru sejati. Guru sejati merupakan pengendali seseorang agar tetap dalam “laku” yang tepat, pener dan berada pada koridor bebener. Siapa yang ditinggalkan oleh pamomong Ki Lurah Semar beserta Gareng, Petruk, Bagong, ia akan celaka, jika satria maka di negerinya akan mendapatkan banyak malapetaka seperti : musibah, bencana, wabah penyakit (pageblug), paceklik. Semua itu sebagai bebendu karena manusia (satria) yang ditinggalkan guru sejati-nya telah keluar dari jalur bebener.
Jika ditinjau dari perspektif politik, kelompok Punakawan Ki Lurah Semar dan anak-anaknya Gareng, Petruk, Bagong sebagai lambang dari lembaga aspirasi rakyat yang mengemban amanat penderitaan rakyat. Atau semacam lembaga legislatif. Sehingga kelompok punakawan ini bertugas sebagai penyambung lidah rakyat, melakukan kritikan, nasehat, dan usulan. Berkewajiban sebagai pengontrol, pengawas, pembimbing jalannya pemerintahan di bawah para Satria asuhannya yakni Pendhawa Lima sebagai lambang badan eksekutif atau lembaga pemerintah. Dengan gambaran ini, sebenarnya dalam tradisi Jawa sejak masa lampau telah dikenal sistem politik yang demokratis.
2. Nala Gareng
Nala adalah hati, Gareng (garing) berarti kering, atau gering, yang berarti menderita. Nala Gareng berarti hati yang menderita. Maknanya adalah perlambang “laku” prihatin. Namun Nala Gareng diterjemahkan pula sebagai kebulatan tekad. Dalam serat Wedhatama disebutkan gumeleng agolong-gilig. Merupakan suatu tekad bulat yang selalu mengarahkan setiap perbuatannya bukan untuk pamrih apapun, melainkan hanya untuk netepi kodrat Hyang Manon. Nala Gareng menjadi simbol duka-cita, kesedihan, nelangsa. Sebagaimana yang tampak dalam wujud fisik Nala Gareng merupakan sekumpulan simbol yang menyiratkan makna sbb:
Mata Juling:
Mata sebelah kiri mengarah keatas dan ke samping. Maknanya Nala Gareng selalu memusatkan batinnya kepada Hyang Widhi.
Lengan Bengkok atau cekot/ceko :
Melambangkan bahwasannya manusia tak akan bisa berbuat apa-apa bila tidak berada pada kodrat atau kehendak Hayng Widhi.
Kaki Pincang, jika berjalan sambil jinjit :
Artinya Nala Gareng merupakan manusia yang sangat berhati-hati dalam melangkah atau dalam mengambil keputusan. Keadaan fisik nala Gareng yang tidak sempurna ini mengingatkan bahwa manusia harus bersikap awas dan hati-hati dalam menjalani kehidupan ini karena sadar akan sifat dasar manusia yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan.
Mulut Gareng :
Mulut gareng berbentuk aneh dan lucu, melambangkan ia tidak pandai bicara, kadang bicaranya sasar-susur (belepotan) tak karuan. Bicara dan sikapnya serba salah, karena tidak merasa percaya diri. Namun demikian Nala Gareng banyak memiliki teman, baik di pihak kawan maupun lawan. Inilah kelebihan Nala Gareng, yang menjadi sangat bermanfaat dalam urusan negosiasi dan mencari relasi, sehingga Nala Gareng sering berperan sebagai juru damai, dan sebagai pembuka jalan untuk negosiasi. Justru dengan banyaknya kekurangan pada dirinya tersebut, Nala Gareng sering terhindar dari celaka dan marabahaya.
3. Petruk Kanthong Bolong
Ki Lurah Petruk adalah putra dari Gandarwa Raja yang diambil anak oleh Ki Lurah Semar. Petruk memiliki nama alias, yakni Dawala. Dawa artinya panjang, la, artinya ala atau jelek. Sudah panjang, tampilan fisiknya jelek. Hidung, telinga, mulut, kaki, dan tangannya panjang. Namun jangan gegabah menilai, karena Lurah Petruk adalah jalma tan kena kinira, biar jelek secara fisik tetapi ia sosok yang tidak bisa diduga-kira. Gambaran ini merupakan pralambang akan tabiat Ki Lurah Petruk yang panjang pikirannya, artinya Petruk tidak grusah-grusuh (gegabah) dalam bertindak, ia akan menghitung secara cermat untung rugi, atau resiko akan suatu rencana dan perbuatan yang akan dilakukan. Petruk Kanthong Bolong, menggambarkan bahwa Petruk memiliki kesabaran yang sangat luas, hatinya bak samodra, hatinya longgar, plong dan perasaannya bolong tidak ada yang disembunyikan, tidak suka menggerutu dan  ngedumel.
Dawala, juga menggambarkan adanya pertalian batin antara para leluhurnya di kahyangan (alam kelanggengan) dengan anak turunnya, yakni Lurah Petruk yang masih hidup di mercapada. Lurah Petruk selalu mendapatkan bimbingan dan tuntunan dari para leluhurnya, sehingga Lurah Petruk memiliki kewaskitaan mumpuni dan mampu menjadi abdi dalem (pembantu) sekaligus penasehat para kesatria.
Petruk Kanthong Bolong wajahnya selalu tersenyum, bahkan pada saat sedang berduka pun selalu menampakkan wajah yang ramah dan murah senyum dengan penuh ketulusan. Petruk mampu menyembunyikan kesedihannya sendiri di hadapan para kesatria bendharanya. Sehingga kehadiran petruk benar-benar membangkitkan semangat dan kebahagiaan tersendiri di tengah kesedihan. Prinsip “laku” hidup Ki Lurah Petruk adalah kebenaran, kejujuran dan kepolosan dalam menjalani kehidupan. Bersama semua anggota Punakawan, Lurah Petruk membantu para kesatria Pandhawa Lima (terutama Raden Arjuna) dalam perjuangannya menegakkan kebenaran dan keadilan.
4. Bagong
Bagong adalah anak ketiga Ki Lurah Semar. Secara filosofi Bagong adalah bayangan Semar. Sewaktu Semar mendapatkan tugas mulia dari Hyang Manon, untuk mengasuh para kesatria yang baik, Semar memohon didampingi seorang teman. Permohonan Semar dikabulkan Hyang Maha Tunggal, dan ternyata seorang teman tersebut diambil dari bayangan Semar sendiri. Setelah bayangan Semar menjadi manusia berkulit hitam seperti rupa bayangan Semar, maka diberi nama Bagong. Sebagaimana Semar, bayangan Semar tersebut sebagai manusia berwatak lugu dan teramat sederhana, namun memiliki ketabahan hati yang luar biasa. Ia tahan menanggung malu, dirundung sedih, dan tidak mudah kaget serta heran jika menghadapi situasi yang genting maupun menyenangkan. Penampilan dan lagak Lurah Bagong seperti orang dungu. Meskipun demikian Bagong adalah sosok yang tangguh, selalu beruntung dan disayang tuan-tuannya. Maka Bagong termasuk punakawan yang dihormati, dipercaya dan mendapat tempat di hati para kesatria. Istilahnya bagong diposisikan sebagai bala tengen, atau pasukan kanan, yakni berada dalam jalur kebenaran dan selalu disayang majikan dan Tuhan.
Dalam pagelaran wayang kulit, kelompok punakawan Semar, Gareng, Petruk, Bagong selalu mendapatkan tempat di hati para pemirsa. Punakawan tampil pada puncak acara yang ditunggu-tunggu pemirsa yakni goro-goro, yang menampilkan berbagai adegan dagelan, anekdot, satire, penuh tawa yang berguna sebagai sarana kritik membangun sambil bercengkerama (guyon parikena). Punakawan menyampaikan kritik, saran, nasehat, maupun menghibur para kesatria yang menjadi asuhan sekaligus majikannya. Suara punakawan adalah suara rakyat jelata sebagai amanat penderitaan rakyat, sekaligus sebagai “suara” Tuhan menyampaikan kebenaran, pandangan dan prinsip hidup yang polos, lugu namun terkadang menampilkan falsafah yang tampak sepele namun memiliki esensi yang sangat luhur. Itulah sepak “terjang punakawan” bala tengen yang suara hatinuraninya selalu didengar dan dipatuhi oleh para kesatria asuhan sekaligus majikannya.
Kepemimpinan Punakawan Kontroversial
Dalam cerita wayang sebagaimana kisah-kisah dalam legenda lainnya, terdapat kelompok antagonis. Dalam cerita wayang tokoh-tokoh antagonis berasal dari negri seberang atau Sabrangan. Punakawan Togog atau Tejamantri, Sarawita dan Mbilung merupakan punakawan kontroversif yang selalu membimbing tokoh pembesar antagonis, para “ksatria” angkara murka (dur angkara), hingga para pimpinan raksasa jahat. Sebut saja misalnya Prabu Dasamuka, Prabu Niwatakawaca, Prabu Susarma, hingga para kesatria dur angkara dari Mandura seperti Raden Kangsa dan seterusnya. Pada intinya Ki Lurah Togog dkk selalu berada di pihak tokoh antagonis, sehingga disebut sebagai bala kiwa. Namun demikian bukan berarti kelompok punakawan ini memiliki karakter buruk.
Ciri fisik Togog dkk memiliki mulut yang lebar. Artinya mereka selalu berkoar menyuarakan kebaikan, peringatan (pepeling) kepada majikannya agar tetap waspada dan eling, menjadi manusia jangan berlebihan. Ngono ya ngono ning aja ngono. Manusia harus mengerti batas-batas perikemanusiaan. Sekalipun akan mengalahkan lawan atau musuhnya tetap harus berpegang pada etika seorang kesatria yang harus gentle, tidak pengecut, dan tidak memenangkan perkelahian dengan jalan yang licik. Sekalipun menang tidak boleh menghina dan mempermalukan lawannya (menang tanpa ngasorake). Itulah ajaran Ki Lurah Togog dkk yang sering kali diminta nasehat dan saran oleh para majikannya. Namun toh akhirnya setiap nasehat, saran, masukan, aspirasi yang disampaikan Ki Lurah Togog dkk tetap saja tidak pernah digubris oleh majikannya mereka tetap setia.  Ki Lurah Togog dkk walaupun menjabat posisi sentral sebagai penasehat, pengasuh dan pembimbing, yang selalu bermulut lantang menyuarakan pepeling, seolah peran mereka hanya sebagai obyek pelengkap penderita. Walaupun Ki Lurah Togog dkk selalu gagal mengasuh majikannya para kesatria dur angkara, hingga sering berpindah majikan untuk bersuara lantang mencegah kejahatan. Bukan berarti mereka tidak setia. Sebaliknya dalam hal kesetiaan sebagai kelompok penegak kebenaran, Ki Lurah togog patut menjadi teladan baik. Karena sekalipun sering dimaki, dibentak dan terkena amarah majikannya, Ki Lurah Togog dkk tidak mau berkhianat. Sekalipun selalu gagal memberi kritik dan saran kepada majikannya, mereka tetap teguh dalam perjuangan menegakkan keadilan. Dan lagi-lagi, mereka selalu dimintai saran dan kritikan, namun serta-merta diingkari pula oleh majikan-majikan barunya. Itulah nasib Togog dkk, yang mengisyaratkan nasib rakyat kecil yang selalu mengutarakan aspirasi dan amanat penderitaan rakyat namun tidak memiliki bargaining power. Ibarat menyirami gurun, seberapapun nasehat dan kritikan telah disiramkan di hati para “pemimpin” dur angkara, tak akan pernah membekas dalam watak para majikannya. Barangkali nasib kelompok punakawan Ki Lurah Togog dkk mirip dengan apa yang kini dialami oleh rakyat Indonesia. Suara hati nurani rakyat sulit mendapat tempat di hati para tokoh dan pejabat hing nusantara nagri. Sekalipun sekian banyak pelajaran berharga di depan mata, namun manifestasi perbuatan dan kebijakan politiknya tetap saja kurang populer untuk memihak rakyat kecil.

WAYANG
KARYA ASLI LELUHUR BANGSA
Sebagai Falsafah “Gumêlaring-Bawáná”

Wayang yang dikenal oleh masyarakat Jawa, memiliki beberapa jenis antara lain Wayang Kulit atau Wayang Purwa terbuat dari kulit kerbau, Wayang Klithik bentuknya pipih terbuat dari kayu,  Wayang Golek terbuat dari bahan dasar kayu, kain dll, dan Wayang Orang bahan bakunya paling aneh, namun sungguh kenyataan, benar-benar terbuat dari manusia hidup-hidup  L hii..!!

Dalam bahasa Jawa, kata wayang berarti “bayangan”. Ditinjau dari perspektif filosofi wayang dapat diartikan sebagai bayangan atau cerminan seluruh sifat-sifat yang ada dalam diri manusia, seperti sifat dur angkara murka, dan segala macam sifat kebaikan (positif). Wayang digunakan sebagai instrumen untuk memperagakan suatu cerita kehidupan manusia di jagad raya, serta gambaran khayangan, atau alam gaib. Dimainkan oleh seorang dalang yang dibantu oleh tim yang terdiri penyumping atau asisten dalang, niyaga atau orang-orang penabuh gamelan dan beberapa waranggana sebagai pelantun tembang. Dalang menjalankan fungsi sentral sebagai sutradara sekaligus pelaku utama jalannya pagelaran secara keseluruhan. Dalanglah yang memimpin semua kru-nya untuk “melebur” dalam alur lakon yang disajikan. Dalam adegan yang kecil-kecilpun dan spontanitas harus ada kekompakan di antara semua kru. Seorang dalang harus menguasai berbagai macam gending atau aransemen alat musik gamelan, dan syarat mutlak bagi seorang dalang menghayati masing-masing karakter dari semua tokoh dalam pewayangan. Desain lantai yang digunakan dalam pagelaran wayang berupa garis lurus, dan dalam memainkan wayang, dalang menghadap ke arah kelir (batang pohon pisang) yang digunakan untuk menancapkan wayang secara berjajar. Jajaran wayang di bagi dua secara berhadapan, ada di sebelah kanan dan sebelah kiri dalangnya. Jajaran wayang di sebelah kiri dalang merupakan kumpulan tokoh tokoh atau satria-satria pembela kebenaran dan kebajikan, sedangkan jajaran wayang sebelah kanan adalah tokoh-tokoh angkara murka. Mengapa para kesatria pembela kebenaran letaknya di sebelah kiri dalang, hal itu tidak lain karena cara menonton wayang yang benar adalah dari balik (belakang) layar. Yang ditonton bayangannya, akan lebih terasa sangat eksotis. Walaupun demikian ketentuan ini tidak mutlak. Untuk memperagakan berbagai dekorasi dan pergantian sub-lakon atau adegan biasanya dipakai simbol berupa gunungan. Gunungan merupakan wayang berbentuk besar di bawah, bagian atasnya meruncing seperti tumpeng. Di dalam gunungan terdapat berbagai macam gambar binatang, misalnya banteng, kera, ular, burung, yang berada dalam cabang-cabang pohon besar. Bahkan kadang tergambar wajah menyerupai topeng raksasa. Gunungan sebagai simbol dari wilayah, atau keadaan alam semesta beserta isinya. Pertunjukan wayang lazimnya dilakukan pada waktu malam hari, namun bisa juga dilakukan pada siang hari, bahkan sehari semalam. Lama pagelaran wayang untuk satu lakon cerita biasanya sekitar 7 sampai 8 jam. Dimulai dari jam 21.00 hingga subuh jam 05.00. Instrumen musik gamelan yang digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang secara lengkap terdiri dari dua kelompok rangkaian gamelan yakni pelog dan slendro. Namun bila ingin digunakan rangkaian gamelan yang sederhana digunakanlah jenis slendro saja. Selain waranggana atau beberapa vokalis putri yang mengiringi dalang, masih ada vokalis pria yang disebut penggerong atau wiraswara, yang terdiri empat hingga enam orang. Wiraswara bertugas mengiringi waranggana dengan suara koor terkadang sahut-sahutan. Wiraswara bisa disediakan khusus, atau bisa juga dirangkap oleh niyaga atau penabuh gamelan sekaligus menjadi penggerong.

Wirayat Gaib dalam Penentuan Lakon
Dalam menentukan lakon untuk pagelaran wayang, seorang dalang tidak bisa sekehendaknya sendiri dalam menentukan lakon apa yang akan dibawakannya. Ia ditentukan oleh beberapa faktor.
Di antaranya adalah sbb:
1. jenis wayang yang dipergunakan sebagai alat peragaan.
2. kepercayaan masyarakat sekitarnya.
3. keperluan diadakannya pertunjukan tersebut.

Khusus untuk acara-acara tertentu, terkadang seorang penanggap wayang minta supaya dalang agar mencarikan judul atau lakon sesuai wangsit yang ia terima. Wangsit akan diperoleh ki dalang bilamana telah dilakukan kegiatan “nayuh” atau maneges kepada Gusti Ingkang Akarya jagad akan jawaban suatu hal. Lakon yang didapat oleh seorang dalang melalui wangsit biasanya dianggap sebagai bentuk jawaban atau gambaran akan suatu hal. Dapat berupa gambaran deskripsi masa kini, maupun gambaran futuristis. Pada zaman dahulu hingga sebagian besar dalang masa kini, salah satu syarat untuk menjadi dalang diharuskan seseorang memiliki spiritualitas relatif tinggi. Bahkan sudah bukan rahasia lagi, masyarakat sering mengukur tingkat “kesaktian” (spiritualitas) seorang dalang bilamana ia sudah mampu membawakan lakon Brantayudha. Selain parameter itu, seorang dalang akan disegani bila ia mampu (kuat) melakukan pagelaran wayang untuk acara “ruwat bumi”. Biasanya dalang ruwat bumi dimiliki atau menjadi lengganan pihak kraton, sebut saja misalnya dalang pujaan Gus Dur dan langganan UGM, yakni Ki Timbul Cermamenggala dari Bantul Yogyakarta. Beliau sering disebut-sebut pula sebagai dalang kraton, karena pernah beberapa kali melakukan ruwatan bumi Yogya-Sala atas permintaan dari kraton Yogyakarta.

Jenis wayang akan mempengaruhi lakon yang bisa digelar. Seperangkat wayang purwa misalnya hanya dapat dipakai untuk memainkan ceritera-ceritera dari Mahabarata atau Ramayana. Wayang kulit tidak bisa di pakai untuk menampilkan babad Menak. Sebaliknya perangkat wayang golek tidak dapat digunakan untuk melakonkan Mahabarata, sebab para tokoh yang ada dalam jenis wayang tersebut sudah dibuat untuk pementasan lakon-lakon tertentu.


Terutama dalam masyarakat Jawa yang masih patuh pada tradisi dan adat istiadat peninggalan para leluhurnya, banyak dijumpai pantangan-pantangan atas suatu lakon tertentu untuk pertunjukan wayang. Misalnya beranggapan bahwa lakon Bharatayuda atau Brantayudha tabu untuk dipentaskan dalam upacara perayaan perkawinan. Atau seorang secara pribadi berani menanggap wayang dengan lakon Brantayudha, akan berat akibatnya di kemudian hari, bisa berupa keterpurukan ekonomi, kesehatan atau keselamatannya. Maka orang tidak berani melanggar pantangan ini, karena percaya bahwa keluarganya akan mengalami kesusahan di kemudian hari. Entah akan ada anggota keluarga yang meninggal, akan terjadi perceraian dalam keluarga tersebut, atau malapetaka lainnya. Di daerah-daerah pedesaan juga masih banyak kita jumpai upacara-upacara adat yang diselenggarakan dengan pertunjukan wayang. Untuk suatu acara tertentu, lakon wayang yang dipentaskan harus disesuaikan pula. Pada upacara bersih desa, yaitu selamatan sesudah panen, lakon yang harus dipertunjukkan misalnya Kondure Dewi Sri atau Pulangnya Dewi Sri, sedangkan untuk upacara ruwatan lakonnya adalah Bathara Kala.

Asal-usul Wayang
Mengenai asal mula timbulnya wayang di Indonesia, terdapat berbagai pendapat dari para ahli yang dapat digunakan sebagai pedoman. Menurut kitab sejarah Jawa Kuna di perpustakaan kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, pertunjukan wayang kulit asal mulanya menggunakan peralatan sederhana, namun pakem aslinya masih regeneratif hingga sekarang, yakni dengan menggunakan wayang berbahan kulit kerbau diukir dengan tatah, menggunakan kelir, blencong, kepyak, kotak dan lain sebagainya. Menurut ahli sejarah Kraton Yogyakarta yang dikenal waskita pula, kesenian wayang sudah dapat dipastikan berasal dan merupakan hasil karya bangsa nusantara, alias Indonesia asli di buat orang-orang di Jawa. Kesenian wayang ini mulai ada sejak jauh sebelum kebudayaan Hindu datang. Kesenian wayang kulit pada mulanya merupakan salah satu bentuk upacara keagamaan Jawa Kuna, atau upacara sakral yang berhubungan dengan sistem kepercayaan waktu itu, yakni untuk menuju “Gusti Murbeng Dumadi” (Tuhan pencipta alam semesta). Upacara wayang dilakukan di malam hari oleh seorang medium yang konon disebut saman atau dilakukan sendiri oleh kepala keluarga. Lakon yang digelar  mengambil cerita-cerita dari leluhur atau nenek moyang. Upacara ini dimaksudkan untuk memanggil dan berkomunikasi dengan arwah nenek moyang. Tujuannya adalah memohon pertolongan (doa) dan restunya apabila keluarga itu akan memulai suatu hajat atau tugas, demikian pula bila telah selesai menjalankan tugas tertentu yang berat. Upacara pagelaran wayang diperkirakan timbul pada jaman Neolithikum, atau pada ± tahun 1500 Sebelum Masehi. Dalam perkembangannya, upacara ini kemudian dikerjakan oleh seorang seniman wayang yang sudah profesional, yakni Dalang.

Tradisi Wayang Sebagai Cagar Kearifan Lokal
Dalam kurun waktu yang cukup lama pertunjukan wayang kemudian terus berkembang setahap demi setahap. Namun tetap mempertahankan fungsi utamanya, yakni sebagai kegiatan berhubungan dengan sistim kepercayaan dan sistem pengajaran akan falsafah nenek moyang secara turun temurun. Untuk mempertahankan kesenian asli warisan nenek-moyang nusantara, kraton Mataram Yogyakarta telah memberikan tempat hidup yang subur bagi kesenian wayang terutama wayang purwa/kulit, sebagaimana tercermin dan didirikannya sekolah dalang Habirandá pada tahun 1925 di Kraton Mataram Yogyakarta. Kini para dalang lulusan sekolah Habirandá banyak tersebar di wilayah Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sementara itu, pusat kesenian wayang orang, tetap dilestarikan di lingkup Kraton Surakarta dan wilayah sekitarnya. Pertunjukan dilakukan di gedung-gedung kesenian, dalam pertunjukan di desa-desa, serta di media elektronik. Sebagai salah satu penggemar kesenian wayang kulit, hampir setiap malam antara jam 23.00  hingga jam 03.00 terkadang jam 04.00, siaran wayang kulit melalui berbagai radio di Yogyakarta selalu setia menemani kami dalam kegiatan “metani keyboard*. Dan kelompok punakawan, Ki Lurah Semar, Nala Gareng, Petruk Kanthong Bolong, Ki Lurah Bagong selalu saja menggugah jiwa-raga ini dari rasa “kantuk” fisik dan “kantuk” batin. Nuwun Gong, Truk, Reng, Mar..!

Menurut pengamat kebudayaan Dr. A Ciptoprawiro dalam tesisnya, wayang dianggap berfungsi sebagai pagelaran kesenian yang menyajikan banyak nilai sebagai tuntunan (moral etik) dan tontonan (nilai estetik) karena konsep etika dan estetika filsafat Jawa akan mewarnai di dalamnya. Etika berkaitan dengan persoalan apa yang baik dan apa yang buruk. Pertentangan antara yang baik dan yang buruk, harus dapat diatasi dengan peningkatan kesadaran yang akan membawa manusia kepada kesempurnaan. Maka dalam pentas pagelaran kesenian wayang memperlihatkan adanya proses menuju pendewasaan jiwa. Pertentangan dan konflik yang dibangun dalam pergelaran wayang menunjukkan pergulatan nilai, yang mengemukakan hukum sebab-akibat, kodrat alam, dan kodrat Tuhan. Demikian juga dengan estetika yang mempertanyakan tentang apa yang indah dan apa yang tidak indah. Keindahan dalam filsafat Jawa akan diukur dengan realitas tertinggi. Dalam wayang dituntut harus ada semangat, grengseng  dan greget, yang semua itu merupakan proyeksi dari keindahan nilai realitas tertinggi.

1. Struktur Pergelaran
Dalam pola intuisi akan memperlihatkan suatu proses evolusi kesadaran akal-budi yang lahiriah, menuju kesadaran yang tertinggi (higher counsciousness). Proyeksi nampak pada struktur aransemen yang diwakili dengan rangkaian gamelan pada slendro patet 6, patet 9, dan patet manyura memberikan gambaran adanya proses ini. Patet 6 seyogyanya menceritakan tentang persoalan-persoalan yang timbul akibat keinginan, baik yang bersifat kebendaan ataupun spiritual, dalam tataran dimensi ketiga. Patet 9, menceritakan tentang proses seorang tokoh atau ksatria untuk mendapatkan kebenaran higher reality yang akan menjadi dasar atas tindakannya dalam menyelesaikan persoalan. Patet Manyuro, atas kedewasaan jiwa yang didapatkan berkat adanya pencerahan moral (dalam patet 9) maka seorang ksatria atau tokoh tersebut melakukan tindakan atas dasar tersebut dengan cara pandang dan pengetahuan yang baru. Sikap ini dibedakan dengan sikap dan cara pandang lama yang masih dalam tataran dimensi ke III dalam patet 6. (Dr. A Ciptoprawiro, dan dalam Kitab pakem Pewayangan, pustaka kraton Yogya)

2. Garap tokoh
Seorang dalang menampilkan tokoh atau guru yang mempunyai tingkat kesadaran yang tinggi yang mempunyai pengetahuan simbolik mampu menjelaskan secara gamblang serta mengajarkannya kepada ksatria atau tokoh. Harus ada perbedaan sikap yang jelas dari ksatria dan  tokoh, yang bisa ditunjukkan kepada penonton, sebelum dan sesudah mendapat pengajaran dari sang guru.

3. Garap Catur
Dalang dituntut mampu menunjukkan percakapan dialektis dalam melakonkan wayang, babak yang menampilkan dialog kritis, cerdik dan cerdas, yang bisa melahirkan pengetahuan sejati. (Kitab Pakem Pewayangan)

Dalang Legendaris dan Asalnya:
Ki Narto Sabdo                  asal Semarang Jateng
Ki Hadi Sugito                   asal Kulonprogo Yogya
Ki Gita Sewaya                  asal Blitar jatim
Ki Gondo Buwono               asal Madiun
Ki Anom Suroto                  asal Solo jateng
Ki Panut Darmoko               asal Nganjuk Jatim
Ki Manteb Sudarsono          asal Karanganyar Solo
Ki Timbul Cermomenggolo   asal Bantul Yogyakarta
Ki Murdi Kandhamurdiyat     asal Tulungagung Jatim
Ki Pringga Darsono             asal Sragen
Ki Rusman S Hadikusumo    asal Semarang
Ki Sunaryo                        asal Surabaya
Ki Asep Sunandar S  asal Bandung Jabar (wayang-
golek)

Masih banyak lagi para profesional Dalang dari wilayah Banyumas, serta dalang kontemporer. Di kenal Dalang Edan, Dalang Suket, Dalang Jemblung, dan yang lain-lainnya.


Peralatan Dalam Pagelaran Wayang
Blencong    : Lampu minyak kelapa untuk menerangi layar.
Dalang       : Orang yang menjalankan lakon wayang.
Kelir          : Gedebok pisang digunakan untuk
                  menancapkan wayang.
Wayang     : Sejenis boneka dua dimensi yang
                  digerakkan oleh dalang.
Gamelan    : Alat musik tradisional Jawa untuk
                  mengiringi pementasan.
Niyaga       : Orang yang menabuh gamelan.
Lakon        : Jalan cerita atau judul.
Sabetan     : Gerak gerik wayang yang dijalankan
                  Ki Dalang.
Beber        : Layar untuk menangkap bayangan wayang
                  dalam ajang sabetan.
Waranggana : Tim vokalis tembang dalam
                    pentas wayang.
Panyumping : Asisten dalang yang bertugas membantu
                    menyiapkan ubo rampe dan membantu
                    mengurutkan wayang.
Kothak/Pethi : Kotak kayu untuk menyimpan wayang
                    yang belum dan sudah ditampilkan.


KEDALAMAN FILSAFAT BLENCONG

Dalam falsafah Jawa sebagaimana tersurat dalam Serat Gatholoco yang kontroversial itu, namun kenyataannya sarat akan falsafah kawruh kawaskithan. Isi di dalamnya salah satunya terdapat cangkriman (tebakan) antara si manusia buruk rupa bernama Gatholoco dengan para santri di pondok Cepekan. Gatholoco merupakan figur manusia yang tak bisa diukur hanya melalui apa yang tampak oleh mata wadag saja (jalma tan kena kinira). Biarpun secara fisik sangat buruk dan baunya tak enak, namun ia memiliki filsafat hidup sangat tinggi sekali. Setidaknya hal itu mengajarkan kepada kita, jangan sampai kita gegabah menilai orang lain semata-mata dari yang tampak oleh mata, dan apa yang bisa dibaca secara verbal.

Gatholoco Bertanya
Gatholoco nulyà ngucap, dalang wayang lawan kělir, lan baléncong ngěndi kang tuwà, badéněn cangkriman iki. Yèn sirà nyàtà wasis, městhi wěruh ingkang sěpuh, Ahmad Arif ambatang kělir kang tuwà pribadi, Abdul Jabar ambatang, Ki dalang kang tuwà déwé. Abdulmanap kanthi wicak ambatang, mênàwà tuwà déwé ora liyà wayangé.

Gatholoco kemudian berkata, dalang wayang dan kelir, serta blencong mana yang paling tua, tebaklah peribahasa ini. Bila kamu memang pandai pasti mengetahui mana yang paling tua sendiri. Ahmad Arif menebak, kelir yang paling tua sendiri, menurut Abdul Jabar yang paling tua adalah dalangnya. Abdul Manap lain lagi, menebak bila yang paling tua tidak lain adalah wayangnya. Namun bagi Gatholoco kesemua jawaban tersebut belumlah tepat.

Jawaban Versi Gatholoco :
Bila menurutku, blencong lah yang paling tua sendiri. Walaupun kelir sudah dipasang, gamelan sudah siap tertata, dalang duduk siap, namun bila panggungnya masih gelap  tentunya belum bisa berjalan pementasan wayangnya. Penonton pun tak bisa melihat akan warna warni rupa wayang yang perpasang di sepanjang kelir. Bila blencong sudah dinyalakan, barulah tampak berjejer wayang menancap di sepanjang kelir. Di atas di bawah, di kiri dan di kanan, tampak Pandawa dan Kurawa berjajar saling berhadapan. Dalang di bawah blencong dapat memilih wayang-wayang yang akan dilakonkan. Dalang dapat menimbang besar kecilnya wayang, memilih dan memilah dalam masing-masing kelompok. Sifat dan watak wayang digolongkan sendiri-sendiri sesuai dengan karakternya, sesuai pula dalang mengucap intonasinya.  Semua itu bisa berjalan karena lampu blencong telah menerangi jagad pakeliran, dalam pagelaran lakon wayang. Oleh karena itu blenconglah yang paling tua.  Begitulah jawaban Si manusia buruk rupa Gatholoco.

Makna Di Balik Ucapan Gatholoco

Agar mengetahui maksud pemikiran Gatholoco, sebelumnya marilah kita sama-sama mengupas satu-persatu makna filsafat di balik peralatan dalam pentas wayang. Bunyi gamelan, wayang yang diiringi gamelan, dalang hanya sekedar mengucap, si wayang lah yang memiliki bunyi. Kurang lebih artinya, (seolah) semua patuh pada kehendak dalangnya, berkuasa atas semua wayang dan lakon, akan tetapi jangan terkecoh, Ki Dalang hanya sekedar melakonkan wayang, alias Ki dalang hanya sekedar mengikuti alur cerita yang telah ada sebelumnya.

Perintah orang yang menanggap pagelaran wayang, disebut Gatholoco sebagai Kyai Sepi, artinya sěpi tanpà ànà, ànàné ginělar yěkti, langgeng tan owah gingsir, tanpa kurang tanpa wuwuh, tanpà rèh tanpa guna, ingkang luwih masesani, ing solahe wayang ucape Ki dalang; sepi tanpa ada, adanya tidak lain sejatinya yang telah tergelar di alam semesta, tetap abadi, tiada berkurang tiada bertambah, tanpa sebab tanpa guna, yang lebih menguasai, ada pada tingkah Ki dalang dan ucapannya.

Yang pasti menjalani yang baik dan buruk, penonton dan yang nanggap wayang, yakni disebut Kyai Urip. Bila lampu blencong sudah mati, semuanya menjadi suwung awang uwung, tiada apapun, ibarat kita belum lahir ke bumi, batin kita suwung tiada apapun.

Baiklah supaya lebih mudah dipahami filsafat di alam pemikiran si buruk rupa Gatholoco mari kita bahas satu-persatu mengenai instrumen dalam pementasan wayang sbb;

Běběr
Disebut pula layar putih tanpa noda. Merupakan gambaran mercàpàdà atau bumi ini yang sesungguhnya merupakan tempat suci. Di manapun tempat, wilayah, daerah, negara, daratan semuanya adalah tempat suci. Jika ada tempat tidak suci, atau dianggap lembah hitam atau kotor, sesungguhnya hanyalah penilaian subyektif atau sekedar manusianya yang kotor, bukan bumi tempat mereka berpijak. Layar sebagai gambaran bumi, menjadi panggung pementasan “sandiwara kehidupan” wayang.

Kělir
Kělir adalah gěděbok (batang) pohon pisang. Jika tidak dipakai lagi untuk menancapkan wayang, maka kělir akan dibuang menjadi barang busuk berbau dan tak ada gunanya, lalu kembali menjadi tanah. Kělir ibarat raga atau jasad kita yang digunakan sebagai tempat bersemayamnya sukma kita. Jasad yang digunakan sebagai media sukma agar dapat berbuat sesuatu di dalam dimensi wadag měrcapada (bumi).

Wayang
Wayang mempunyai dua dimensi, jika ditonton dengan benar seharusnya dari balik layar pementasan. Yang yampak adalah siluet bayangan hitam si wayang. Wayang adalah jiwa, atau jiwànggà, jiwà ing ànggà yakni  jiwa yang manjing di raga. Sedangkan bayangan wayang di balik běběr atau layar ibaratnya “guru sejati” atau sukma sějati.

Pěthi
Kotak kayu untuk menyimpan wayang yang belum dikeluarkan atau wayang yang sudah mati. Tokoh wayang yang sudah mati, pasti meninggalkan kelirnya dan dimasukkan oleh dalang ke dalam kotak pěthi. Pethi ibaratnya liang kuburan. Jika anda serem akan liang kuburan, karena belum memahami makna liang kubur. Liang kubur sesungguhnya pintu kecil, gelap, pengap dan sempit, namun menjadi “lorong” atau pintu masuk menuju ke alam gaib para leluhur yang terang benderang dan menakjubkan (bagi yang perbuatannya pada sesama baik, bagi yang tdk baik saya nggak tahu).

Dalang
Dalang adalah orang yang hanya sekedar menjalankan cerita-cerita (lakon) wayang yang telah ada sebelumnya. Meskipun demikian, dalang harus memahami betul pakem gamelan, karakter wayang, cengkok tembang, pribadi masing-masing waranggana dan wiyaga. Dalang menjadi pembawa cerita, sekaligus pemimpin atau komando bagi seluruh tim yang bersama-sama menjalankan pementasan “sandiwara kehidupan” wayang. Kekompakan terjadi bilamana para waranggana, wiyaga, dan asisten dalang memahami secara persis bagaimana jalan cerita lakon, menghayatinya serta bagaimana keinginan-keinginan Ki Dalang selama melakonkan wayang.

Dalang ibarat pemuka agama, tokoh masyarakat, koordinator paguyuban dan perkumpulan, sesepuh desa, pemuka adat, pemimpin spiritual, yang hanya sekedar menjalankan hukum kodrat Tuhan, hukum alam, nilai-nilai tradisi dan budaya yang telah ada sebelumnya untuk mendasari lakon kehidupan di mercapada, sejak bumi ini ada. Siapapun boleh dan bisa menjadi dalang. Tidak pandang derajat, pangkat, golongan. Maknanya, setiap orang boleh dan bisa menjadi ahli spiritual, pemuka adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, dst. Setiap manusia berhak menjadi khalifah di mercapada. Tak perlu menunggu disuruh-suruh Tuhan. Syaratnya hanyalah, memahami akan nilai kesejatian kebenaran, memiliki banyak ilmu pengetahuannya, serta mampu mengendalikan diri agar menjadi manusia yang arif, berwibawa, bijaksana, adil dan paling penting adalah bersedia berbuat kebaikan pada sesama tanpa pandang apa sukunya, apa agamanya, apa budayanya, dari mana asalnya, siapa namanya, apa jabatannya. Dalang menjadi jalma manungsa kang hambeg utama, sadrema netepi titahing Gusti. Umpama manusia-manusia suci penegak keadilan dan kebenaran di muka bumi, yang hanya menetapkan segala tindakannya sesuai lakon dalam kodrat Hyang Widhi. 

Blencong
Blencong merupakan lampu penerang letaknya di depan layar, di atas Ki dalang duduk bersila. Blencong menggunakan bahan bakar minyak kelapa, sehingga nyalanya relatif lama, apinya bersih, baunya juga harum dan gurih. Filsafat blencong umpama wahyu kehidupan, atau atmà sejati yang menghidupkan segala yang hidup, cahaya blencong umpama cahyà sejati. Blencong berasal dari Hyang Widhi yang tak tergambarkan dalam pagelaran wayang. Blencong asale sàkà wahananing Gusti Kang Murbeng Dumadi.  Cahaya blencong adalah cahyà sejati, yang menerangi seluruh pagelaran wayang kulit, yakni meliputi seluruh jagad gumelar.  Cahyà sejati, menyinari wayang (sukmà sejati), menyinari Ki Dalang dan kelir. Blencong dan sinarnya ibarat tejà lan cahyà. Yakni umpama Bethara Nurrada dan Bethàrà Teja (Antàgà). Càhyà sejati, cahaya kehidupan merambah ke dalam badan, di luar dan di dalam, di bawah dan di atas, berasal dari Yang Maha Hidup atma sejati, wujudnya berasal dari Hyang Mahamulya. Wujudnya menjadi Wujud  Yang Maha Tunggal. Ora ànà PĂRĂ Màhà Tunggal kajàbà kang NYAWIJI Màhà Tunggal.

Gatholoco Pergi meninggalkan Pertanyaan :

..Yèn wayang mari tinanggap, wayangé kalawan kêlir sinimpên sajroning kothak, baléncong pisah lan kêlir, dalang pisah lan ringgit, marang êndi paranipun, sirnaning baléncong wayang, upayanên dèn kêpanggih, yèn tan wêruh sirà urip kàyà rêcà…

Bilamana pertunjukan wayang telah usai,
wayang dan kelir disimpan dalam kotak,
blencong terpisah dengan kelir,
dalang terpisah dengan wayang,
di manakah tujuannya,
hilangnya blencong wayang,
carilah sampai ketemu,
bila tak mengerti
kamu ibarat hidup seperti arca.

Bénjang yèn sirà palastrà, uripmu ànà ing ngêndi, saikine sirà gêsang, patimu ànà ing ngêndi, uripmu bakal mati, pati nggàwà urip iku, ing ngêndi kuburirà, sirà gàwà wira-wiri, tuduhênà dunungé panggonanirà….. 

Besok bila kamu mati,
hidupmu ada di mana,
sekarang ini kamu hidup,
kematianmu ada di mana,
hidupmu bakal mati,
kematian membawa kehidupan,
di mana kuburanmu,
kamu bawa kesana-kemari,
tunjukkan di manakah tempatmu.

Apa jawabannya…?
Namun hati-hatilah menjawab, karena pertanyaan Gatholoco tersebut merupakan pertanyaan mengandung dua dimensi yakni lahir dan batin. Jasad dan spirit (roh), artinya bukan sekedar pertanyaan lugas, namun lebih cenderung kiasan. Misalnya: …besok bila kamu mati. Maksudnya yang mati adalah NAFSU. Mangga, marilah kita bahas bersama…

PUSAKA HASTA BRATA; Calon Presiden Wajib Memiliki !
Rahasia Kesuksesan Kepemimpinan Jawa
Pusaka Hasta Brata
(Wahyu Makutha Rama)

Prakata
Dalam wacana falsafah pewayangan Jawa dikenal suatu konsepsi Ilmu Luhur yang menjadi prinsip dasar kepemimpinan a la Jawa. Yakni ilmu “Hasta Brata” atau dikenal pula sebagai Wahyu Makutha Rama yang diterima Raden Arjuna setelah menjalani “laku” prihatin dengan cara tapa brata dan tarak brata (Lihat : serat Laksita Jati).  Hasta berarti delapan, brata adalah “laku” atau jalan spiritual/rohani. Hasta Brata maknanya adalah delapan “laku” yang harus ditempuh seseorang bila sedang menjalankan tampuk kepemimpinan. Kedelapan “laku” sebagai personifikasi delapan unsur alamiah yang dijadikan panutan watak (watak wantun) seorang pemimpin. Kedelapan unsur tersebut meliputi delapan karakter unsur-unsur alam yakni : bumi, langit, angin, samudra-air, rembulan, matahari, api, dan bintang. Bila seorang pemimpin bersedia mengadopsi  8 karakter unsur alamiah tersebut, maka ia akan menjadi pemimpin atau raja yang adil, jujur, berwibawa, arif dan bijaksana. Hal ini berlaku pula untuk masyarakat luas, bilamana seseorang dapat mengadopsi ilmu Hasta Brata ia akan menjadi seseorang yang hambeg utama, berwatak mulia, luhur budi pekertinya.

PUSAKA HASTA BRATA (Wahyu Makutha Rama)
Hasta Brata, atau Wahyu Makutha Rama merupakan sebuah ilmu yang termasuk bukan ilmu sembarangan. Artinya memiliki makna yang sangat tinggi yang terkandung di dalam prinsip-prinsip hukum alamiah di dalamnya. Dalam cerita pewayangan wahyu Makutha Rama atau dikenal pula sebagai ilmu Hasta Brata pernah berhasil sukses menghantarkan dua tokoh atau dua orang raja besar titisan Bathara Wisnu, yakni Sri Rama Wijaya duduk sebagai raja di kerajaan Ayodya, dan Sri Bathara Kresna adalah raja yang bertahta di kerajaan Dwarawati. Selanjutnya diceritakan Sri Bathara Kresna membuka rahasia ilmu Hasta Brata kepada Raden Arjuna Wiwaha, sebagai saudara penengah di antara Pendawa Lima. Dikatakan bahwa anasir ke-delapan unsur alam semesta tersebut dapat menjadi teladan perilaku sehari-hari dalam pergaulan masyarakat terlebih lagi dalam rangka memimpin negara dan bangsa. Inilah antara lain sebagaimana yang saya maksudkan dengan sinergi dan harmonisasi antara jagad kecil dengan jagad besar. Lihat  http://sabdalangit.wordpress.com/category/falsafah-jawa/menelisik-rahasia-filsafat-kejawen-1/

Kedelapan unsur alam semesta tersebut menggambarkan pula 8 Dewa beserta sifat-sifatnya, seperti di bawah ini ;

  1. Mulat Laku Jantraning Bantala (Bumi ; Bethara Wisnu)
  2. Mulat Laku Jantraning Surya (Matahari ; Bethara Surya)
  3. Mulat Laku Jantraning Kartika (Bintang ; Bethara Ismaya)
  4. Mulat Laku Jantraning Candra (Rembulan ; Bethari Ratih)
  5. Mulat Laku Jantraning Samodra atau Tirta (Bathara Baruna)
  6. Mulat Laku Jantraning Akasa (Langit ; Bathara Indra)
  7. Mulat Laku Jantraning Maruta (Angin ; Bathara Bayu)
  8. Mulat Laku Jantraning Agni (Api ; Bethara Brahma)

1. Watak Bumi (Hambeging Kisma)
Digambarkan watak Bethara Wisnu sebagai karakter bumi yang memiliki sifat kaya akan segalanya dan suka berderma. Pemimpin yang mengikuti sifat bumi adalah seseorang yang memiliki sifat kaya hati. Dalam terminologi Jawa kaya hati disebut sabardrono, ati jembar, legawa dan lembah manah. Rela menghidupi dan menjadi sumber penghidupan seluruh makhluk hidup. Bumi secara alamiah juga berwatak melayani segala yang hidup. Bumi dengan unsur tanahnya bersifat dingin tidak kagetan dan gumunan, sebaliknya bersifat luwes (fleksibel) mudah adaptasi dengan segala macam situasi dan kondisi tanpa harus merubah unsur-unsur tanahnya. Maknanya, sekalipun seseorang bersifat mudah adaptasi atau fleksibel namun tidak mudah dihasut, tak mempan diprovokasi, karena berbekal ketenangan pikir, kebersihan hati, dan kejernihan batinnya dalam menghadapi berbagai macam persoalan dan perubahan.

Bumi juga selalu menempatkan diri berada di bawah menjadi alas pijakan seluruh makhluk. Artinya seseorang yang bersifat bumi akan bersifat rendah hati, namun mampu menjadi tumpuan dan harapan orang banyak. Sifat tanah berlawanan dengan sifat negatif api. Maka tanahlah yang memiliki kemampuan efektif memadamkan api. Api atau nar, merupakan ke-aku-an yang sejatinya adalah “iblis” yakni tiada lain nafsu negatif dalam diri manusia. Seseorang yang bersifat bumi atau tanah, tidak akan lepas kendali mengikuti jejak nafsu negatif.

Bumi dalam hukum adi kodrati memiliki prinsip keseimbangan dan pola-pola hubungan yang harmonis dan sinergis dengan kekuatan manapun. Namun demikian, pada saat tertentu bumi dapat berubah karakter menjadi tegas, lugas dan berwibawa. Bumi dapat melibas kekuatan apapun yang bertentangan dengan hukum-hukum keseimbangan alam. Seseorang yang memiliki watak bumi, dapat juga bersikap sangat tegas, dan mampu menunjukkan kewibawaannya di hadapan para musuh dan lawan-lawannya yang akan mencelakai dirinya. Akan tetapi, bumi tidak pernah melakukan tindakan indisipliner yang bersifat aksioner dan sepihak. Karena ketegasan bumi sebagai bentuk akibat (reaksi) atas segala perilaku disharmoni.

2. Watak Matahari (Hambeging Surya)
Matahari bersifat menerangi. Seseorang yang berwatak matahari akan selalu menjadi penerang di antara sesama sebagaimana watak Bathara Surya. Mampu menyirnakan segala kegelapan dalam kehidupan. Kapanpun dan di manapun ia akan selalu memberikan pencerahan kepada orang lain. Matahari juga menghidupi segala makhluk hidup baik tumbuhan, hewan dan manusia. Manfaat matahari menjadi penghangat suhu agar tidak terjadi kemusnahan massal di muka bumi akbiat kegelapan dan kedinginan. Seseorang yang berwatak matahari, ia menjadi sumber pencerahan bagi kehidupan manusia, serta mampu berperan sebagai penuntun, guru, pelindung sekaligus menjalankan dinamika kehidupan manusia ke arah kemajuan peradaban yang lebih baik. Sikap dan prinsip hidup orang yang berwatak matahari, ia akan konsisten, teguh dalam memegang amanat, ora kagetan (tidak mudah terkaget-kaget), ora gumunan (tidak gampang heran akan hal-hal baru dan asing).

Seseorang watak matahari ibarat perjalanan matahari yang berjalan pelan dalam arti hati-hati  tidak terburu-buru (kemrungsung), langkah yang pasti dan konsisten pada orbit yang telah dikodratkan Tuhan (istikomah). Lakuning srengenge, seseorang harus teguh dalam menjaga tanggungjawabnya kepada sesama. Tanggungjawabnya sebagai titah (khalifah) Tuhan, yakni menetapkan segala perbuatan dan tingkah laku diri ke dalam “sifat” Tuhan. Tuhan Maha Mengetahui; maka kita sebagai titah Tuhan hendaknya terus-menerus berusaha mencari ilmu pengetahuan yang seluas-luasnya dan setinggi-tingginya agar ilmu tersebut bermanfaat untuk kemajuan pradaban manusia, menciptakan kebaikan-kebaikan yang konstruktif untuk kemaslahatan semua orang dan menjaga kelestarian alam sekitarnya.

3. Watak Bintang (Hambeg Kartika)
Kartika atau bintang berwatak selalu mapan dan tangguh, walaupun dihempas angin prahara (sindhung riwut) namun tetap teguh dan tidak terombang-ambing. Sebagaimana watak Bathara Ismaya, dalam menghadapi persoalan-persoalan besar tidak akan mundur selangkahpun bagaikan langkahnya Pendawa Lima. Sifat Bethara Ismaya adalah tertata, teratur, dan tertib. Mampu menghibur yang lagi sedih, dan menuntun orang yang sedang mengalami kebingungan, serta menjadi penerang di antara kegelapan. Seseorang yang mengadopsi perilaku bintang, akan memiliki cita-cita, harapan dan target yang tinggi untuk kemakmuran dan kesejahteraan tidak hanya untuk diri sendiri namun juga orang banyak. Maka sebutan sebagai “bintang” selalu dikiaskan dengan suatu pencapaian prestasi yang tinggi. Posisi bintang akan memperindah kegelapan langit di malam hari. Orang yang berwatak bagai bintang akan selalu menunjukkan kualitas dirinya dalam menghadapi berbagai macam persoalan kehidupan.

4. Watak Rembulan (hambeg Candra)
Candra atau rembulan, berwatak memberikan penerang kepada siapapun yang sedang mengalami kegelapan budi, serta memberikan suasana tenteram pada sesama. Rembulan membuat terang tanpa membuat “panas” suasana (dapat ikannya, tanpa membuat keruh airnya). Langkah rembulan selalu membuat sejuk suasana pergaulan dan tidak merasa diburu-buru oleh keinginannya sendiri (rahsaning karep). Watak rembulan menggambarkan nuansa keindahan spiritual yang mendalam.  Selalu  eling dan waspadha, selalu mengarahkan perhatian batinnya senantiasa berpegang pada harmonisasi dan keselarasan terhadap hukum alam (arab; kehendak ilahi/musyahadah). Lakuning rembulan, seseorang mampu “nggayuh kawicaksananing Gusti” artinya mampu memahami apa yang menjadi kehendak (kebijaksanaan) Sang Jagadnata. Setelah memahami, lalu kita ikuti kehendak Tuhan menjadi sebuah “laku tapa ngeli” artinya kita hanyutkan diri pada kehendak Ilahi. Witing klapa salugune wong Jawa, dhasar nyata laku kang prasaja.

Orang yang berwatak rembulan, selalu mengagumi keindahan ciptaan Tuhan yang tampak dalam berbagai “bahasa” alam sebagai pertanda kebesaran Tuhan. Bulan purnama menjadi bahasa kebesaran Tuhan yang indah sekali. Orang-orang tua dan anak-anak zaman dahulu selalu bersuka ria saat merayakan malam bulan purnama. Karena menyaksikan keindahan malam bulan purnama, bagai membaca “ayat-ayat” Tuhan, mampu menggugah kesadaran batin dan akal-budi manusia akan keagungan Tuhan. Sayang sekali kebiasaan itu sudah dianggap kuno, kalah dengan hiburan zaman modern yang kaya akan tawaran-tawaran hedonis. Bahkan secara agama, kebiasaan merayakan “padhang mbulan“ oleh orang-orang tertentu dianggap sebagai tradisi yang sia-sia karena tidak menimbulkan pahala. Padahal bulan purnama memiliki khasiat lain sebagai media terapi lahir dan batin di saat terjadi berbagai kegelisahan jiwa. Sinar bulan purnama sangat baik untuk mengobati segala macam penyakit dengan cara menjemur diri di bawah sinar bulan purnama. Apalagi disertai dengan semedi sebagai wahana olah raga dan olah rasa. Itulah mengapa leluhur kita zaman dahulu melakukan semadi pada saat datangnya bulan purnama.

5. Watak Samodra
Mengambil sisi positif dari watak samodra. Samodra atau lautan memiliki karakter yang dapat memuat apa saja yang masuk ke dalamnya. Walaupun berupa sampah industri dan rumah tangga, bangkai anjing, bangkai manusia, semua dapat diterima dengan sikap tulus tidak pernah menggerutu. Dalam terminologi Jawa terdapat kalimat permohonan maaf sebagai berikut; nyuwun lumebering sih samodra pangaksami bilih wonten kathahing kalepatan. Watak samudra maknanya adalah hati yang luas, penuh kesabaran, serta siap menerima berbagai keluhan atau mampu menampung beban orang banyak tanpa perasaan keluh kesah. Samodra menggambarkan satu wujud air yang sangat luas, namun di dalamnya menyimpan kekayaan yang sangat bernilai dan bermanfaat untuk kehidupan manusia. Namun samodra tidak pernah pamer potensinya yang bernilai besar kepada orang banyak. Samodra memendam segala kemampuan, kelebihan dan potensinya berada dalam kandungan air yang dalam. Watak samodra menggambarkan  jalma tan kena kinira, orang yang tampak bersahaja, tidak norak, tidak dapat disangka-sangka sesungguhnya ia menyimpan potensi yang besar di berbagai bidang, namun tabiatnya sungguh jauh dari sifat takabur, atau sikap menyombongkan diri.

Manusia watak samodra, tidak pernah membeda-bedakan golongan, kelompok, suku, bangsa, dan agama. Semua dipandang sama-sama makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki kesamaan derajat di hadapan Tuhan. Yang mebedakan adalah akal-budinya, keadaan batin, serta perbuatannya terhadap sesama. Dalam bidang keilmuan, watak samodra akan sangat arif dan bijaksana. Sekalipun berilmu tinggi ia sangat merendah bahkan berlagak bodoh. Sebagaimana watak Bima Sena, yang mampu menutupi (tidak pamer) akan ilmunya yang luas, sehingga dapat menyesuaikan diri secara sempurna dengan siapapun dan di manapun ia berada. Satu lagi, watak samodra yang paling dahsyat adalah kemampuannya untuk menetralisir segala yang kotor dan polutan. Limbah tak bertanggungjawab yang dibuang ke laut akan diproses secara-pelan-pelan dan akhirnya racun dan bakteri yang masuk ke laut akan tak berdaya bergulat dengan molekul air samodra yang jenuh akan unsur garam. Orang berwatak samodra akan mampu mengurai dan memberikan jalan penyelesaian berbagai problema yang ia hadapi, maupun problema yang dialami orang lain.  Bersediakah Anda berwatak nyegoro ?

Watak Air (Hambeg Tirta)
Mengambil sisi positif dari watak maruta. Tirta atau air berwatak selalu rendah hati dalam perilaku badan (solah) dan perilaku batin (bawa) atau andhap asor. Selalu menempatkan diri pada tempat yang rendah, umpama perilaku dinamakan rendah hati (lembah manah) dan sopan santun (andhap asor). Orang yang berwatak air akan selalu rendah hati, mawas diri, bersikap tenang, mampu membersihkan segala yang kotor. Air selalu mengalir mengikuti lekuk alam yang paling mudah dilalui menuju samodra. Air adalah gambaran kesetiaan manusia pada sesama dan pada kodrat Tuhan. Air tidak pernah melawan kodrat Tuhan dengan menyusuri jalan yang mendaki ke arah gunung, meninggalkan samodra. Orang yang berwatak air, perbuatannya selalu berada pada kehendak Tuhan, jalan yang ditempuh selalu diberkahi Gusti Kang Murbeng Dumadi. Sehingga watak air akan membawa seseorang menempuh jalan kehidupan dengan irama yang paling mudah, dan pada akhirnya akan masuk kepada samodra anugrah Tuhan Yang Maha Besar. Tapi jangan mengikuti watak air bah, tsunami, lampor, rob, yang melawan kodrat Tuhan, perbuatan seseorang yang menerjang wewaler, religi, tatanan sosial, tata krama, hukum positif, serta hukum normatif.

Berwatak air, akan membawa diri kita dalam sikap yang tenang, tak mudah stress, tidak mudah bingung, tidak gampang kagetan, lemah-lembut namun memiliki daya kekuatan yang sangat dahsyat. Sikap kalem tidak bertabiat negatif. Namun hati-hatilah karena orang sering merasa sudah mengikuti watak air, namun tidak menyadari yang diikuti adalah air bah, maknanya adalah watak cenderung membuat kerusakan, diburu-buru, tanpa perhitungan, asal ganyang, buta mata akan resiko, yang penting gasak dulu, urusan dipikir dibelakang (pecicilan/pencilakan/cenanangan/jelalatan).

6. Watak Langit (Hambeg Akasa)
Akasa atau langit. Bersifat melindungi atau mengayomi terhadap seluruh makhluk tanpa pilih kasih, dan memberi keadilan dengan membagi musim di berbagai belahan bumi. Watak langit ini relatif paling sulit diterapkan oleh manusia zaman sekarang, khususnya di bumi nusantara ini. Seorang pemimpin, negarawan, politisi, yang mampu bersikap tanpa pilih kasih dan bersedia  mengayomi seluruh makhluk hidup, merupakan tugas dan tanggungjawab yang sangat berat. Apalagi di tengah kondisi politik dan kehidupan bermasyarakat yang cenderung mencari benarnya sendiri, mencari untungnya sendiri, dan mencari menangnya sendiri. Tidak jarang seseorang, atau wakil rakyat yang hanya memperjuangkan kepentingan partainya saja, bukan kepentingan bangsa. Bahkan anggota legislatif, pimpinan masyarakat, para aktor intelektual, pemuka spiritual terkadang tak menyadari sedang mengejar kepentingannya sendiri, atau kepentingan kelompoknya saja. Orang-orang di luar diri atau kelompoknya dianggap tidak penting untuk diayomi. Orang yang berbeda peristilahan, bahasa, budaya, adat istiadat, dan tradisi sekalipun sebangsa dan setanah air, tetap saja  diasumsikan sebagai orang yang tak perlu di bela dan dilindungi. Bahkan orang-orang tersebut  dianggap sesat, pembual, pembohong, penipu. Prasangka-prasangka negatif ini sangat bertentangan dengan watak akasa. Akasa atau langit akan melihat secara gamblang beragamnya persoalan kehidupan di muka bumi ini. Kewaskitaan akasa seumpama mata satelit, ia akan menyaksikan bahwa ternyata di atas bumi ini terdapat ribuan bahkan jutaan jalan spiritual menuju satu titik yang sama, meskipun jalan yang ditempuh sangat beragam dan berbeda-beda. Maka watak langit tak suka menyalahkan orang lain, tak suka menghujat sesama,  tak suka memaki dan mengumpat sekalipun terhadap orang yang memusuhinya. Itulah watak langit, sebagaimana terdapat pada Bethara Indra. Justru terhadap semua manusia apapun watak, dan bagaimanapun sikapnya Bethara Indra akan selalu ngemong sesama, mampu mengelola watak mengalah, mampu menahan diri, meredam emosi, dan membimbing seluruh makhluk hidup dengan cara yang penuh dengan kasih sayang. Dalam manajemen perilaku Jawa, sikap ini selalu diutamakan terutama dalam pasamuan, bebrayan (bermasyarakat), pertemuan, diskusi, dan dalam berbagai pergaulan. Maka watak Jawa menuntut perilaku hambeg utama, lumuh banda, luhur dalam budi pekerti atau solah (perilaku jasad) dan bawa (perilaku batin). Sedangkan terhadap yang masih bodoh, sikapnya tiada pernah mempermalukan dan meremehkan. Itulah watak Bathara Indra, sebagai watak akasa atau langit. Sayang sekali, watak ini sudah terkena polusi “watak asing” yang menjadikan seseorang tidak canggung mencaci orang lain yang berada di luar kelompoknya, dan menyalahkan orang yang tak sepaham dengannya. Salah satu sikap, bila ingin mengaplikasi watak Bathara Indra, bilamana kita berangkat dengan kesadaran bahwa ilmu pengetahuan yang kita kuasai seumpama  sebutir debu yang beterbangan, maka kita tak akan pernah memiliki watak merasa paling benar dan pandai. Karena rahasia ilmu yang terdapat di jagad raya ini adalah sebanyak debu yang ada di seluruh alam semesta.

7. Watak Angin (Hambeg Maruta)
Maruta atau angin atau udara. Mengambil sisi positif dari watak angin Bathara Bayu. Angin memiliki watak selalu menyusup di manapun ada ruang yang hampa, walau sekecil apapun. Angin mengetahui situasi dan kondisi apapun dan bertempat di manapun. Kedatangannya tidak pernah diduga, dan tak dapat dilihat. Seseorang yang berwatak samirana atau angin, maknanya adalah selalu meneliti dan menelusup di mana-mana, untuk mengetahui problem-problem sekecil apapun yang ada di dalam masyarakat, bukan hanya atas dasar kata orang, katanya, konon, jare, ceunah ceuk ceunah. Watak angin mampu merasakan apa yang orang lain rasakan (empati), orang berwatak angin akan mudah simpati dan melakukan empati. Watak angin sangat teliti dan hati-hati, penuh kecermatan, sehingga seorang yang berwatak angin akan mengetahui berbagai persoalan dengan data-data yang cukup valid dan akurat. Sehingga menjadi orang yang dapat dipercaya dan setiap ucapannya dapat dipertanggungjawabkan.

8. Watak Api (Hambeg Agni)
Agni atau api atau dahana. Yang diambil adalah sisi positif dari watak api yakni Bathara Brahma. Watak api adalah mematangkan dan meleburkan segala sesuatu. Seorang yang mengambil watak api akan mampu mengolah semua masalah dan kesulitan menjadi sebuah pelajaran yang sangat berharga. Ia juga bersedia untuk melakukan pencerahan pada sesama yang membutuhkan, murah hati dalam mendidik dan menularkan ilmu pengetahuan kepada orang-orang yang haus akan ilmu. Mematangkan mental, jiwa, batin sesama yang mengalami stagnansi atau kemandegan spiritual. Api tidak akan mau menyala tanpa adanya bahan bakar. Maknanya seseorang tidak akan mencari-cari masalah yangbukan kewenangannya. Dan tidak akan mencampuri urusan dan privasi orang lain yang tidak memerlukan bantuan. Api hanya akan melebur apa saja yang menjadi bahan bakarnya. Seseorang mampu menyelesaikan semua masalah yang menjadi tanggungjawabnya secara adil (mrantasi ing gawe). Serta tanpa membeda-bedakan mana yang mudah diselesaikan (golek penake dewe), dan tidak memilih berdasarkan kasih (pilih sih) , memilih berdasarkan kepentingan pribadinya (golek butuhe dewe).

KEDALAMAN MAKNA HASTA BRATA
Kebulatan dalam menerapkan Hasta Brata dapat menumbuhkan sikap dan tekad bulat menetapkan diri pada kodrat Gusti Kang Akarya Jagad serta menjauhkan diri dari segala sikap berseteru dengan Tuhan, sebaliknya selalu eling dan wasadha, dapat menselaraskan antara ucapan dengan perbuatan. Selalu mengutamakan sikap sabar dalam menghadapi semua kesulitan dan penderitaan, berpendirian teguh tidak terombang-ambing oleh keadaan yang tidak menentu, tidak bersikap gugon tuhon atau anut grubyug (taklid), ela-elu, sikap asal–asalan. Pikiran kritis, hati yang bersih, batin yang selalu bening tidak berprasangka buruk, serta tidak mencari-cari keburukan orang lain. Bersikap legawa dan menerima apa adanya akan hasil akhir (qona’ah) terhadap apa yang diperolehnya. Dengan tetap memiliki semangat juang dan selalu berusaha tanpa kenal putus asa.

Dimilikinya watak, sifat, karakter, tabiat sebagaimana terangkum dalam Hasta Brata yang dapat membuka “olah rasa” untuk selalu eling mampu berkecimpung dalam pergaulan luas dan segala tatanan masyarakat. Pasrah dengan bersandar pada kecermatan fikir dan kebersihan nalar. Untuk mengupayakan jalan hidup agar tidak keluar dari rambu-rambu dalam mewujudkan harapan, serta menciptakan ketenteraman, keselamatan dan kesejahteraan bersama. Demikianlah nilai-nilai kepemimpinan yang terkandung di dalam falsafah Hasta Brata yang menjadi pusaka pegangan Prabu Rama Wijaya dan Prabu Sri Bethara Kresna sewaktu jumeneng raja di tlatah Ayodya Pala.  Yang diwejangkan juga kepada Raden Arjuna.

Ada tiga nilai terpenting yang dapat dijadikan benang merah :
Pertama; pola kepeminpinan Prabu Rama Wijaya dan Prabu Sri Bathara Kresna yang menjadi nilai-nilai luhur dan patut menjadi teladan bagi siapapun yang menjadi pemimpin bangsa ini. Beliau berdua mampu memimpin negara dengan adil dan bijaksana, sehingga nama keduanya sangat harum di mata rakyatnya.
Kedua; walaupun bertemakan kepemimpinan, namun nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya dapat menjadi teladan siapapun, sekalipun bukan pimpinan negara, karena setiap manusia minimal menjadi pemimpin atas dirinya sendiri. Bila seseorang mampu menghayati dan mengamalkan pusaka Hasta Brata pastilah akan menemukan keharmonisan dalam kehidupan dan pergaulan masyarakat.
Ketiga; bila kita meneladani kedelapan bagian dari jagad raya tersebut berarti kita memasuki wilayah spiritual yang bernilai religiusitas tinggi. Membaca tanda-tanda alam sama halnya memahami kegungan Tuhan. Ibarat membaca ayat-ayat Tuhan yang tersirat dalam bahasa kebijaksanaan kodrat alam. Umpama kalimat tanpa tulisan, papan tulis tanpa ada tulisan. Dapat juga dipersonifikasikan sebagai “tapaking kuntul anglayang”.

MAKNA TAK TERTULIS
Alam semesta beserta seluruh tanda-tandanya sebenarnya merupakan ayat yang tersirat. Jika mau jujur, lihat dan cermatilah kebijaksanaan yang tampak dalam bahasa alam tiada nilai yang bertentangan atau bersinggungan dengan ayat kitab suci manapun. Ini cukup membuktikan bahwa ilmu Tuhan teramat luas tiada batasnya.

Jika anda ingin melihat BUKTI (bukan sekedar tulisan) kebesaran Tuhan, maka lihatlah tanda-tanda menakjubkan yang terdapat dalam ruang-ruang jagad raya. Pergilah ke gunung, ke pantai, pandangi sunrise dan sunset, gelombang laut, resapilah saat hujan dan badai menerpa, guntur dan kilat menyambar, semua merupakan kalimat akan kebesaran Tuhan. Sekali lagi, makna yang tersimpan dalam kalimat tanpa tulis dan kata-kata. Kalimat yang tidak dibatasi oleh bahasa, suku, dan bangsa tertentu. Kata-kata dan huruf yang tidak terkungkung oleh adat istiadat, tradisi, dan ajaran tertentu.  Istilah yang tidak tergantung oleh ilmuwan tertentu. Karena hakekatnya adalah kalimat universal, diperuntukkan untuk segala yang hidup, tidak terbatas manusia, namun binatang dan makhluk gaib semuanya. Tidak terbatas hanya untuk pemimpin, kepala suku, rakyat jelata, bangsawan, orang-orang sudra. Itulah bukti nyata kebesaran Tuhan Yang maha Tunggal, Yang lebih dari Maha Besar. Tuhan yang lebih dari Maha Adil dan Bijaksana.  Sayang sekali, manusia sering bertengkar gara-gara tak mampu menangkap anugrah perbedaan.

Haruskah manusia dikudeta oleh binatang ? Ataukah manusia harus berguru kepada makhluk hidup lainnya, kepada binatang melata, kepada burung, gajah, atau bahkan kepada makhluk gaib. Karena mereka tidak pernah tercemar oleh polusi nafsu diniawi seperti manusia, sehingga mereka masih memiliki ketajaman instink dalam menangkap bahasa dan kalimat Tuhan. Mengerti bilamana akan terjadi bencana dan musibah alam. Jujur saja kami sering dipaksa harus berguru kepada mereka. Dan saya tidak terlalu berani menyombongkan diri sebagai makhluk paling sempurna di antara semua makhluk Tuhan, hanya gara-gara memiliki akal-budi. Bukankah kita dapat menjadi hina, lebih hina daripada binatang paling hina sekalipun, hanya karena salah kelola akal-budi kita.

BERGURU PADA ORANG BODOH
Orang-orang zaman dulu seringkali dianggap orang bodoh, cubluk, kekolotan, tidak canggih, tradisionil, serta udik. Penilaian subyektif hanya berdasarkan penglihatan mata wadag dan hanya bersadarkan dari omongan ke omongan orang yang sama-sama tidak menilai secara subyektif. Asumsi di atas merupakan hak setiap orang melakukan penilaian. Namun perlu lebih hati-hati dalam melakukan penilaian, sebab jika yang salah kaprah akan menjadi sia-sia bahkan merugikan diri sendiri. Pada saat banyak orang ramai-ramai memberikan asumsi negatif akan tradisi kuno, saat itu pula kami mencoba berfikir positif, dan bertanya-tanya mengapa penilaian negatif itu muncul. Bagaimana seandainya saya ada di pihak yang dinilai negatif.

Leluhur bangsa di masa lalu sejak 2500 tahun SM telah melakukan kegiatan spiritual. Perjalanan spiritualnya semakin berkembang seiring perjalanan waktu ke waktu. Pada intinya, leluhur masa lalu sangat menganjurkan agar manusia mengamati tanda-tanda kebesaran Tuhan dengan mencermati alam semesta. Hal ini menimbulkan apa yang disebut sebagai “ngelmu titen”. Ilmu untuk mencermati segenap tanda-tanda alam sebagai wujud bahasa dan kalimat Tuhan yang tak tertulis. Ngelmu titen diperoleh setelah seseorang rajin mencermati dan membaca tanda-tanda alam. Dengan melakukan semadi di gunung, laut, tempat-tempat sepi. Bukan saja mata wadag yang akan menyaksikan keagungan Tuhan, lebih dari itu, mata batin akan turut menjadi saksi kebesaran Tuhan yang lebih dahsyat lagi, setelah merasakan getaran energi alam, atau daya magis (metafisik) di balik semua unsur-unsur bumi dalam Hasta Brata.

Singkat kata, dengan melakukan perenungan-perenungan, semedi, penghayatan di tempat-tempat tertentu, yang sunyi, indah dan menakjubkan akhirnya dapat menggugah getaran jiwa, dengan membuka kesadaran batin kita sehingga dapat menciptakan harmonisasi atau sinergi antara energi yang ada dalam “jagad kecil” (diri manusia) dengan “jagad besar” (alam semesta).  Bila keselarasan tersebut telah tercipta maka akan membuka pemahaman akan “jati diri Tuhan”, sehingga muncul daya kekuatan “gaib” yang mendorong kita untuk semakin dekat kepada Tuhan. Berkaitan dengan ilmu Hasta Brata, manusia Jawa masa lampau, memiliki ilmu kepemimpinan yang secara kualitas lebih baik dan lebih canggih daripada pemimpin zaman modern saat ini. Dalam artian kemampuannya untuk merumuskan setiap fenomena yang terjadi dan mendiagnosa setiap permasalahan secara tepat, kemudian membuat rencana problem solving kemudian melakukan manuver-manuver yang bersifat konkrit. Meliputi berbagai bidang kehidupan, sosial, politik, ekonomi, hukum. Bidang-bidang kehidupan dapat dideskripsikan secara cermat dan tepat sehingga tidak melakukan kesalahan dalam membuat suatu kebijakan. Pemimpin zaman dulu, memperoleh legitimasi dan kelanggengan kekuasaannya bukan saja karena alur genealogis atau faktor keturunan, lebih penting dari itu kelanggengan kepemimpinan atas dasar sistem kepemimpinan yang bijaksana, adil, dan benar-benar mensejahterakan rakyatnya, sehingga kekuasaannya bertumpu pada power of law kekuasaan dengan legitimasi hukum formal dan pengakuan dari rakyat. Lain halnya dengan kebanyakan pola kepemimpinan zaman sekarang, yang disibukkan manuver-manuver politik mempertahankan kekuasaan, bukan konsentrasi mensejahterakan masyarakat. Sehingga legitimasi politiknya terbalik menjadi law of the power, ia menciptakan “hukum” demi mempertahankan kekuasaannya. Kelemahan paling besar pemimpin zaman sekarang adalah kurang mampu berkomunikasi dengan bahasa alam yang mengisyaratkan pesan-pesan penting dan gaib, apa yang harus dilakukan saat ini dan masa mendatang. Mungkinkah para pemimpin terlalu meremehkan bahasa alam ? Sementara Tuhan mengirimkan isyaratNya melalui bahasa alam itu. Maka terjadilah deadlock, yakni kemacetan komunikasi antara manusia dengan Tuhannya.

Follow Gue : @yoyoocetar